Rabu, 27 November 2013

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

BAB I
PENDAHULUAN
  
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit lambung akibat refluks asam lambung, adalah masalah kesehatan yang cukup umum. GERD merupakan gerakan membaliknya isi lambung menuju esofagus. GERD juga mengacu pada berbagai kondisi gejala klinis atau perubahan histologi yang terjadi akibat refluk gastroesofagus. Ketika esofagus berulangkali kontak dengan material refluks untuk waktu yang lama, dapat terjadi inflamasi esoagus (esofagitis refluks) dan dalam beberapa kasus berkembang menjadi erosi esofagus (esofagitis refluks).

1.1 Epidemiologi
GERD dapat terjadi pada semua umur tetapi kebanyakan terjadi pada usia diatas 40 tahun. Walaupun kematian yang disebabkan ole GERD sangat jarang terjadi, gejala dari GERD mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Dalam populasi barat, kisaran prevalensi untuk GERD adalah 10% sampai 20% dari populasi.
Prevalensi dari GERD bervariasi tergantung dari wilayah geografis, tetapi negara barat merupakan wilayah dengan kasus GERD tertinggi. Kecuali selama kehamilan dan kemungkinan NERD, tidak timbul perbedaan yang signifikan pada kasus antara pria dan wanita. NERD cenderung terjadi pada wanita dan pada pasien sekitar 10 tahun lebih muda dari pasien yang mengalami erosi.
Walaupun jenis kelamin tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada terjadinya GERD, hal ini merupakan faktor penting pada terjadinya Barret esofagus, komplikasi dari GERD dimana epitel squamous normal digantikan oleh epitel kolumnar khusus. Barret esofagus sering terjadi pada pria dewasa berkulit putih di negara barat.

1.2 Patofisiologi
Faktor utama terjadinya GERD adalah gangguan refluk asam lambung dari lambung menuju esofagus. Pada beberapa kasus, refluks esofageal dikaitkan dengan ketidaksempurnaan tekanan atau fungsi dari sfinkter esofageal bawah (Lower Esophageal Spinchter/LES). Sfinkter secara normal berada pada kondisi tonik (berkontraksi) untuk mencegah refluks materi lambung dari perut dan berelaksasi saat menelan untuk membuka jalan makanan ke dalam perut. Penurunan tekanan LES dapat disebabkan oleh (a) relaksasi sementara LES secara spontan, (b) peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau (c) LES atonik.
Permasalahan pada mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti faktor anatomi, pembersihan esofagus (waktu kontak asam dengan mukosa esofageal yang terlalu lama), resistensi mukosal, pengosongan lambung, faktor pertumbuhan epidermis dan pendaparan saliva, mungkin juga dapat menyebabkan refluk gastroesofageal.
Faktor agresif yang dapat mendukung kerusakan esofageal saat refluks ke esofagus termasuk asam lambung, pepsin, asam empedu dan enzim pankreas. Dengan demikian komposisi, pH dan volume refluksat serta durasi pemaparan adalah faktor yang paling penting pada penentuan konsekuensi refluks gastroesofageal.

 BAB II
ISI

Faktor-Faktor Anatomi
Gangguan hambatan anatomik normal dengan hernia hiatus dianggap sebagai etiologi utama refluks gastroesofageal dan esofagitis. Faktor utama dalam mendiskripsikan gejala pada pasien hernia hiatus adalah tekanan LES. Ukuran hernia hiatus sebanding dengan frekuensi sementara relaksasi LES. Pasien dengan hipotensi tekanan LES dan hernia hiatus besar memungkinkan untuk mengalami refluks gastroesofageal, serta peningkatan mendadak tekanan intraabdominal dibandingkan dengan pasien dengan hipotensi LES dan tidak mengalami hernia hiatus.

Klirens Esophageal
Masalah pada pasien GERD bukan karena memproduksi terlalu banyak asam, tetapi asam yang dihasilkan menghabiskan terlalu banyak waktu kontak dengan mukosa esofagus. Hal tersebut dikarenakan gejala ataupun tingkat keparahan kerusakan yang dihasilkan oleh refluks gastroesofageal yang sebagian besar tergantung pada durasi kontak antara isi lambung dan mukosa esofagus. Waktu kontak tersebut tergantung pada tingkat di mana esofagus mampu membersihkan bahan berbahaya, serta frekuensi refluks. Menelan merupakan kontribusi klirens esofagus dengan meningkatkan aliran liur. Air liur mengandung bikarbonat yang merupakan buffer bahan sisa lambung pada permukaan esofagus. Produksi air liur menurun dengan bertambahnya usia, sehingga lebih sulit untuk mempertahankan pH netral intraesophageal. Oleh karena itu kerusakan esofagus yang disebabkan oleh refluks terjadi lebih sering pada orang tua, dan juga pada pasien dengan sindrom Sjogren atau xerostomia.
Resistensi Pada Mukosa
Dalam mukosa esofagus dan submukosa ada lendir sekresi glands. Lendir disekresikan oleh kelenjar berfungsi sebagai perlindungan esofagus. Bikarbonat bergerak dari darah ke lumen dapat menetralkan asam refluxate di kerongkongan. Bila mukosa berulang kali terkena refluxate di GERD, atau jika ada cacat dalam pertahanan mukosa normal, ion hidrogen akan berdifusi ke mukosa, menyebabkan pengasaman seluler dan nekrosis, yang pada akhirnya menyebabkan esophagitis. Secara teoritis, resistensi mukosa tidak hanya untuk lendir esofagus, tetapi juga untuk sambungan erat epitel, perputaran epitelial sel, keseimbangan nitrogen, aliran darah mukosa, jaringan prostaglandin, dan asam-basa jaringan. Air liur juga sebagai faktor pertumbuhan epidermal untuk merangsang pembaharuan sel

Pengosongan Lambung
Waktu pengosongan lambung yang tertunda dapat menyebabkan gastroesophageal reflux. Volume lambung berkaitan dengan volume material yang tertelan, kecepatan sekresi lambung, kecepatan pengosongan lambung serta jumlah dan frekuensi refluks duodenum ke dalam lambung. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan pengosongan lambung seperti merokok dan makanan tinggi lemak sering dikaitkan dengan refluks gastroesophageal. Makanan berlemak dapat meningkatkan postprandial refluks gastroesophageal dengan meningkatnya volume lambung, tertundanya laju pengosongan lambung, dan menurunnya tekanan LES. Tertundanya pengosongan lambung dapat menyebabkan regurgitasi menyusui yang dapat mengakibatkan komplikasi GERD pada bayi seperti gagal tumbuh dan aspirasi paru.

Komposisi Refluks
Komposisi, pH, dan volume refluxate adalah faktor agresif penting dalam menentukan konsekuensi dari refluks gastroesophageal. Pada hewan, asam memiliki dua efek utama ketikarefluks ke kerongkongan. Pertama, jika pH refluxate kurang
dari 2, esophagitis mengakibatkan denaturasi protein. Pepsinogen diaktifkan menjadi pepsin pada pH ini dan mungkin juga menyebabkan esofagitis. Duodenogastric reflux esophagitis, atau "basa esophagitis, "mengacu pada esofagitis yang disebabkan oleh refluks empedu dan cairan pankreas. Peningkatan konsentrasi empedu lambung disebabkan oleh duodenogastric refluks sebagai hasil dari gangguan motilitas umum, clearance lebih lambat dari refluxate atau setelah surgery.
Asam empedu memiliki efek langsung mengiritasi mukosa esofagus dan efek tidak langsungnya yaitu meningkatkan permeabilitas ion hidrogen dari mukosa. Presentase pH esofagus dibawah 4 lebih besar pada pasien komplikasi dibandingkan dengan pasien berpenyakit ringan. Kombinasi dari asam, pepsin dan atau empedu merupakan refluks poten dalam memproduksi kerusakan esofageal.

Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat terjadi dengan gastroesophageal reflux, termasuk penyempitan esofagus , esofagus Barrett , dan adenocarcinoma esofagus. Penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid atau aspirin merupakan faktor risiko tambahan yang dapat berkontribusi untuk memburuknya komplikasi GERD. Makanan yang ditelan mungkin tersangkut dalam esofagus sekali penyempitan menjadi cukup parah (biasanya ketika ia menyempitkan lumen esofagus ke garis tengah dari 1 cm). Situasi ini mungkin memerlukan pengangkatan makanan yang tersangkut secara endoskopi. Kemudian, untuk mencegah makanan menempel, penyempitan harus diregangkan (diperlebar). Lebih dari itu, untuk mencegah kekambuhan dari penyempitan, refluks juga harus dicegah.
PRGE/GERD yang sudah berjalan lama dan/atau yang parah menyebabkan perubahan-perubahan pada sel-sel yang melapisi esofagus pada beberapa pasien. Barrett esophagus memiliki insiden lebih besar dari 30 % daripada penyempitan esofagus. Risiko adenocarcinoma esofagus terjadi 30 sampai 60 kali lebih tinggi pada pasien dengan Barrett esophagus.
Patofisiologi refluks gastroesophageal adalah proses siklik kompleks. Untuk menentukan yang terjadi pertama: gastroesophageal reflux menyebabkan kerusakan peristaltik dengan kliring yang tertunda, atau ketidakmampuan tekanan LES menyebabkan refluks gastroesophageal.

Presentasi Klinis
Pasien dengan GERD menunjukkan gejala yang dapat digambarkan sebagai berikut:
1.  Gejala khas : Dapat diperburuk oleh kegiatan yang memperburuk gastroesophageal reflux seperti posisi telentang , membungkuk , atau makan makanan tinggi lemak .
• Mulas
• kurang Air ( hipersalivasi )
• bersendawa
• Regurgitasi

2. Gejala atipikal
: Dalam beberapa kasus , gejala-gejala extraesophageal mungkin satu-satunya gejala yang hadir , sehingga lebih sulit untuk mengenali GERD sebagai penyebabnya , terutama ketika studi endoskopi yang normal.
• asma nonallergic
• Batuk kronis
• Suara serak
• Faringitis
• Nyeri dada
• erosi gigi

3. Gejala Peringatan : Gejala-gejala ini mungkin menunjukkan komplikasi GERD seperti Barrett esophagus , striktur esofagus , atau kanker kerongkongan .
• Nyeri terus menerus
• Disfagia
• odynophagia
• penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
• Tersedak

Uji yang berguna dalam mendiagnosis GERD meliputi: endoskopi , pemantauan refluks rawat jalan, dan manometri .
1.       Endoskopi adalah teknik pilihan untuk menilai mukosa untuk esophagitis , Barrett esophagus mengidentifikasi dan mendiagnosa komplikasi. Hal ini memungkinkan visualisasi dan biopsi mukosa esofagus . Meskipun endoskopi adalah tes yang sangat spesifik , tidak sangat sensitif . Dalam kasus-kasus ringan dari GERD , mukosa esofagus mungkin muncul relatif normal .
2.       Dua perkembangan terakhir terkait dengan pemantauan reflux rawat jalan meliputi ( a) penggunaan gabungan impedansi dan pengujian asam dan ( b ) penggunaan metode tubeless dari monitoring asam. Sedangkan pengujian pH rawat jalan hanya mengukur refluks asam , dikombinasikan impedansi dan langkah-langkah pengujian asam baik asam dan nonacid refluks . Ini mungkin berguna ketika mengevaluasi pasien pada terapi penekanan asam .
3.       Manometry kerongkongan digunakan untuk memastikan penempatan yang tepat dari probe pH esofagus dan untuk mengevaluasi peristaltik esofagus dan motilitas sebelum operasi antireflux . Untuk melakukan manometry , tekanan penginderaan tabung multilumen dilewatkan ke dalam perut dan tekanan diukur sebagai tabung ditarik kembali melintasi sphincter bagian bawah esofagus , kerongkongan , dan faring .

TREATMENT
Tujuan pengobatan GERD secara umum yaitu:
a.       Mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala yang  dialami pasien
b.      Mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi gastroesophageal reflux
c.       Mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka
d.      Mencegah perkembangan komplikasi
Tujuan pengobatan GERD secara khusus yaitu:
a.       mengurangi keasaman refluxate
b.      mengurangi volume lambung tersedia untuk direfluks
c.       meningkatkan pengosongan lambung
d.      meningkatkan tekanan LES
e.       meningkatkan pembersihan asam esophagus
f.       melindungi mukosa esophagus
Terapi awal yang digunakan tergantung pada kondisi pasien (frekuensi gejala, tingkat esofagitis, dan adanya komplikasi). Secara historis, pendekatan yang digunakan, dimulai dengan modifikasi gaya hidup dan pengarahan terapi kepada pasien dan mengembangkan manajemen farmakologi atau pendekatan intervensi.
Perubahan diet makanan dan gaya hidup dengan pendidikan tentang faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala GERD harus didiskusikan dengan pasien meskipun mereka tidak mungkin untuk mengontrol gejala-gejala yang timbul. Pasien dengan gejala ringan atau sedang dapat diobati dengan obat – obatan tanpa resep seperti  H2-reseptor, inhibitor pompa proton, antasida, atau asam alginate. Pada pasien dengan GERD sedang sampai parah, terutama mereka dengan penyakit erosif, pengobatan dimulai dengan inhibitor pompa proton sebagai terapi awal.
Pasien yang tidak melakukan modifikasi gaya hidup dan pengarahan terapi setelah 2 minggu harus melakukan terapi medis dan biasanya dimulai pada terapi empirik yang terdiri dari agen acid-suppression. Terapi pemeliharaan umumnya diperlukan untuk mengontrol gejala dan mencegah komplikasi. Pada pasien dengan gejala yang lebih berat (dengan atau tanpa erosi kerongkongan), atau pada pasien dengan komplikasi lain, terapi pemeliharaan dengan inhibitor pompa proton merupakan terapi yang paling efektif. Penggunaan rutin terapi kombinasi tidak dapat digunakan sebagai  terapi pemeliharaan GERD. GERD yang refrakter terhadap penekanan asam yang cukup jarang terjadi. Dalam kasus ini, diagnosis harus dikonfirmasi melalui tes diagnostik lebih lanjut , terapi dosis tinggi atau pendekatan intervensi (operasi antireflux atau terapi endoskopi) .


Non farmakologis Terapi
1.      Modifikasi gaya hidup yang paling umum dilakuakan anatara lain :
(a)    Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan (obesitas) dapat meningkatkan resiko GERD dan juga dapat meningktankan tekanan abdominal. Konsumsi makanan tinggi protein dan rendah lemak dapat meningkatakan tekanan LES akibatnya penurunan berat dan diet rendah lemak dapat meningkatkan gejala GERD.
(b)   Elevasi kepala  saat tidur
Meninggikan alas kepala dibawah busa kasur bukan sekedar tinggi bantal setinggi 6-8 inchi menurunkan kontak asam esofagus saat malam hari
(c)    Konsumsi makanan kecil dan tidak makan 3 jam  sebelum tidur
Banyak makanan dapat memperburuk  gejala GERD. Lemak dan coklat dapat menurunkan tekanan LES,  sedangkan jus jeruk, jus tomat, kopi, dan lada mungkin mengganggu  rusak endothelium. 
(d)   Menghindari makanan atau obat yang  memperburuk GERD
(e)    Hal ini penting untuk mengevaluasi profil pasien dan untuk mengidentifikasi potensi  obat yang dapat memperburuk gejala GERD. Obat-obatan,  seperti antikolinergik, barbiturat, calcium channel  blocker, dan teofilin menurunkan tekanan LES. Obat lain,  termasuk aspirin, zat besi, obat antiinflamasi nonsteroid,  quinidine, kalium klorida, dan bifosfonat dapat bertindak sebagai  iritasi kontak langsung pada mukosa esofagus. Pasien yang memakai  bifosfonat (misalnya, alendronate) harus diinstruksikan untuk minum 6 sampai 8 ons air keran biasa dan tetap tegak selama minimal 30  menit setelah pemberian. Pendidikan pasien yang tepat dapat membantu mencegah disfagia atau ulserasi esofagus.Pasien harus  dimonitor untuk gejala memburuk ketika salah satu dari ini  obat dimulai. Jika gejala memburuk, terapi alternatif  dapat dibenarkan. Klinisi harus mempertimbangkan risiko dan manfaat  melanjutkan obat yang dikenal untuk memperburuk GERD dan esophagitis
(f)    Berhenti merokok
Merokok  dapat menyebabkan aerophagia, yang dapat meningkatkan sendawa 
dan regurgitasi. Masih belum ada banyak data yang menyebabkan peningkatan keparahan GERD, sehingga pasien GERD di rekomendasikan untuk menghindari alkohol.
(g)   Berhenti alkohol
Penggunaan alkohol dapat menurunkan LES

2.      Pendekatan Intervensi.
·         Bedah Antireflux
Bedah antireflux dilkukan jika :
(a) bagi pasien yang gagal untuk menanggapi farmakologis pengobatan
(b) pasien yang memilih untuk operasi meskipun pengobatan yang sukses pertimbangan
gaya hidup karena, termasuk usia, waktu, atau biaya obat
(c) yang memiliki komplikasi GERD (misalnya, Barrett esofagus, striktur),
(d) Pasien yang memiliki gejala atripikal
Komplikasi dari operasi adalah dapat menyebabkan ketidakmampuan untubersendawa atau muntah, disfagia, denervasi vagus, trauma limpa, dan kadang menyebabkan kematian. Efektivitas jangka panjang dari operasi antireflux tidak pasti.Pasien  berusia lebih muda dari 50 tahun dan orang-orang dengan gejala khas yang responsif terhadap terapi medis memiliki hasil terbaik dengan pembedahan.
·         Terapi Endoskopi
Beberapa endoskopi baru digunakan untuk  pengelolaan GERD yaitu perangkat menjahit endoskopi dan aplikasi endoluminal dari frekuensi radio energi panas yang mengakibatkan cedera jaringan atau ablasi saraf (prosedur Stretta). Teknik ini disetujui FDA, tetapi peran yang tepat dalam manajemen  GERD belum ditentukan.  Sebuah perangkat menjahit endoskopik (EndoCinch) dan NDO Bedah secara signifikan mengurangi gejala  mulas dan regurgitasi, dan meningkatkan kualitas-hiduppasien. Penggunaan terapi penekanan asam dapat dikurangi sebanyak 70% selama follow up 12 bulan. Perangkat Stretta memberikan energi frekuensi radio melalui jarum khusus yang diletakkan ke dalam jaringan submukosa esofagus sementara tetap dilkukan pemantauan suhu permukaan mukosa esofagus, sehingga  dalam peningkatan penghalang refluks LES. Hasil utama memiliki telah pengurangan gejala mulas dan perbaikan  kualitas hidup. Karena kurangnya data yang memadai,sehingga belum diketahui apa peran perangkat ini akan menjadi dalam pengelolaan GERD.

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi terdiri dari (a) terapi pasien diarahkan dengan antasid nonprescription, antagonis reseptor H2, atau proton pump inhibitors dan (b) terapi kekuatan resep penekan asam atau promotility obat.
(a). Terapi Pasien yang Diarahkan
Terapi Pasien diarahkan sesuai untuk penyakit yang ringan, gejala intermiten. Pasien dengan gejala yang terus berlangsung lebih dari 2 minggu harus dilakukan pemeriksaan medis.
·         Antasida and turunan Asam Alginat Antasida
Pasien harus dididik bahwa antasida adalah komponen yang tepat untuk mengobati GERD ringan, meskipun dokumentasi keberhasilan antasida dalam uji klinis terkontrol plasebo kurang. Meskipun literatur agak kontroversial pada keunggulan antasida dengan plasebo , dokter dan pasien jelas menganggap antasida efektif untuk segera mengurangi gejala-gejala, dan antasida yang sering digunakan bersamaan dengan terapi asam. Mempertahankan pH intragastrik > 4 mengurangi aktivasi pepsinogen ke pepsin, enzim proteolitik. Produk kombinasi bisa lebih baik dibanding antasida sendirian dalam mengurangi gejala GERD. Produk kombinasi antasida atau antasida dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal ( diare atau sembelit, tergantung pada produk ), perubahan dalam metabolisme mineral, dan gangguan asam-basa . Antasida yang mengandung aluminium dapat mengikat fosfat dalam usus dan mengakibatkan demineralisasi tulang . Selain itu, antasida berinteraksi dengan berbagai obat-obatan dengan mengubah pH lambung, meningkatkan pH urin, menyerap obat untuk permukaan mereka, memberikan penghalang fisik untuk penyerapan, atau membentuk kompleks larut dengan obat lain. Antasida memiliki interaksi obat yang signifikan secara klinis dengan tetrasiklin, besi sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonilurea, dan antibiotik kuinolon. Interaksi antasida dengan beberapa obat dipengaruhi oleh komposisi, dosis, jadwal dosis, dan perumusan antasid tersebut. Secara umum, antasida memiliki durasi obat yang singkat sehingga memerlukan administrasi sering sepanjang hari untuk memberikan netralisasi asam terus menerus. Mengonsumsi antasida setelah makan dapat meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam sampai 3 jam, namun penekanan asam pada malam hari tidak dapat dipertahankan dengan dosis tidur.
·         Nonprescription H2-Receptor Antagonists dan Proton Pump Inhibitors
Antagonis reseptor H2 nonprescription (simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin) efektif dalam menurunkan asam lambung ketika dikonsumsi sebelum makan dan saat gejala penurunan GERD terkait dengan olahraga. Antasida mungkin memiliki onset sedikit lebih cepat dari aksi obat, sedangkan antagonis reseptor H2 memiliki durasi yang lebih lama dari aksi obat dibandingkan dengan antasida. Proton-pump inhibitor omeprazole juga dapat digunakan sebagai pengobatan GERD. Sebuah dosis 20 mg per hari diindikasikan untuk jangka pendek (14 hari) pada pengobatan heartburn. Pasien yang tidak mengubah gaya hidupnya dan pasien yang diarahkan terapi sampai 2 minggu, harus dilihat kondisinya oleh dokter mereka.
·         Terapi Penekanan Asam
Terapi penekan asam dengan kekuatan obat yang diresepkan berupa antagonis reseptor
H2 dan inhibitor pompa proton adalah andalan pengobatan GERD. Antagonis reseptor H2 (Cimetidine, Famotidine, nizatidine, dan Ranitidine) antagonis reseptor H2 dalam dosis terbagi efektif dalam mengobati pasien GERD ringan sampai sedang. Sebagian besar percobaan yang menilai efikasi dosis standar H2-reseptor antagonis menunjukkan bahwa perbaikan gejala dicapai dalam rata-rata 60% pasien setelah 12 minggu terapi. Namun, tingkat penyembuhan endoskopik cenderung lebih rendah, rata-rata 50%.
Efektivitas H2-reseptor antagonis dalam manajemen GERD sangat bervariasi dan sering lebih rendah dari yang diinginkan. Respon terhadap antagonis reseptor H2 tergantung pada (a) tingkat keparahan penyakit, (b) dosis regimen yang digunakan, dan (c) durasi terapi. Faktor-faktor ini penting untuk diingat ketika membandingkan berbagai uji klinis dan / atau menilai respon pasien terhadap terapi. Tingkat keparahan esophagitis memiliki dampak mendalam pada respon pasien terhadap antagonis reseptor H2. Untuk mengurangi gejala-gejala GERD ringan, dosis rendah, antagonis reseptor H2 tanpa resep atau dosis standar yang diberikan dua kali sehari mungkin bermanfaat. Pasien yang tidak merespon pada dosis standar mungkin hypersekresi dari asam lambung dan akan memerlukan dosis yang lebih tinggi. Meskipun dosis tinggi antagonis reseptor H2 dapat memberikan tingkat kesembuhan gejala dan endoskopi yang lebih tinggi, informasi yang terbatas mengenai keamanan regimen, dan dapat menjadi kurang efektif dan lebih mahal daripada inhibitor proton pump sekali sehari. Tidak seperti penyakit ulkus duodenum, di mana durasi terapi yang relatif singkat (misalnya, 4 sampai 6 minggu), program perpanjangan antagonis reseptor H2 sering diperlukan dalam pengobatan GERD.
Karena semua antagonis reseptor H2 memiliki khasiat yang sama, pemilihan agen khusus untuk digunakan dalam pengelolaan GERD harus didasarkan pada faktor-faktor seperti perbedaan farmakokinetik, profil keamanan, dan biaya. Secara umum, antagonis reseptor H2 ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling umum adalah sakit kepala, mengantuk, kelelahan, pusing, dan sembelit atau diare. Pasien harus dipantau adanya efek samping serta interaksi obat yang potensial, terutama pada cimetidine. Cimetidine dapat menghambat metabolisme antara lain teofilin, warfarin, fenitoin, nifedipine, dan propranolol. Alternatif antagonis reseptor H2 lain harus dipilih jika pasien pada obat ini .

Proton Pump Inhibitor ( Esomeprazole, lansoprazole, Omeprazole, Pantoprazole, dan rabeprazole )
Inhibitor proton pump lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien dengan GERD parah. Tidak hanya pasien dengan esofagitis erosif atau komplikasi ( misalnya, Barrett esophagus, striktur ), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosive yang memiliki gejala sedang sampai berat. Dosis yang disetujui FDA ( per hari ) dari proton pump inhibitor adalah omeprazole 20 mg, esomeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, 20 mg rabeprazole, dan pantoprazole 40 mg. Mengurangi gejala-gejala pasien yang terlihat sekitar 83 % setelah 8 minggu pengobatan dengan inhibitor proton pump, sedangkan tingkat penyembuhan endoskopik pada 8 minggu adalah 78 % .
Inhibitor proton pump memblokir sekresi asam lambung dengan menghambat lambung H+ / K+ - triphosphatase adenosin dalam sel parietal lambung. Menghasilkan profound, efek antisecretory tahan lama mampu mempertahankan pH lambung diatas 4, bahkan selama asam postprandial mengalami lonjakan. Suatu korelasi tampak antara persentase waktu pH lambung tetap di atas 4 selama periode 24  jam dan penyembuhan esofagitis erosif.
Beberapa percobaan telah membandingkan inhibitor proton pump satu sama lain. Secara umum, tingkat penyembuhan pada 4 minggu dan 8 minggu sama ; lansoprazole dan rabeprazole, bagaimanapun, bisa meringankan gejala lebih cepat setelah dosis pertama bila dibandingkan dengan omeprazole. Penggunaan omeprazole dosis tinggi ( 40 mg dua kali sehari ) menyebabkan regresi parsial Barrett esophagus, tapi tidak ada perubahan dicatat pasien rawat inap yang menerima ranitidine 150 mg dua kali sehari. Inhibitor proton pump biasanya ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang potensial termasuk sakit kepala, pusing, mengantuk, diare, sembelit, mual, dan kekurangan vitamin B12. Frekuensi efek samping tampaknya mirip dengan yang terlihat dengan antagonis reseptor H2.
Interaksi obat dengan inhibitor proton pump bervariasi dengan masing-masing agen. Semua inhibitor proton pump dapat mengurangi penyerapan obat-obatan seperti ketoconazole atau itraconazol , yang membutuhkan lingkungan asam untuk diserap. Semua inhibitor proton pump dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 sampai batas tertentu, khususnya oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Namun, tidak ada interaksi dengan lansoprazole, pantoprazole, atau rabeprazole telah terlihat dengan substrat CYP2C19 seperti diazepam, warfarin, dan fenitoin. Esomeprazole tidak berinteraksi dengan warfarin atau fenitoin, dan interaksi dengan diazepam umumnya tidak dianggap relevan secara klinis. Pantoprazole juga dimetabolisme oleh sulfotransferase sitosol dan karena kecil kemungkinannya untuk memiliki interaksi obat yang signifikan dibandingkan dengan inhibitor proton pump lainnya. Meskipun umumnya tidak menyebabkan perhatian utama, omeprazole memiliki potensi untuk menghambat metabolisme warfarin, diazepam, dan fenitoin, dan lansoprazole dapat menurunkan konsentrasi teofilin. Pasien yang memakai warfarin harus dimonitor untuk potensi adanya perdarahan.
Inhibitor proton pump menurunkan kondisi asam dan karena itu dibuat dalam sediaan kapsul lepas lambat atau formulasi tablet. Lansoprazole, esomeprazole, dan omeprazole mengandung enterik ( pH - sensitive ) butiran dalam bentuk kapsul. Untuk pasien yang tidak dapat menelan kapsul, atau untuk pasien anak, isi kapsul lepas lambat dapat dicampur dalam saus apel atau ditempatkan dalam jus jeruk. Jika pasien memiliki tube nasogastrik, isi kapsul omeprazole dapat dicampur dalam 8,4 % larutan natrium bikarbonat. Butiran esomeprazole dapat terdispersi dalam air. Lansoprazole tersedia dalam suspensi oral dan sustain release, disintegrasi tablet oral. Pasien yang memakai pantoprazole atau rabeprazole harus diinstruksikan untuk tidak menghancurkan, mengunyah, atau membagi tablet lepas lambat. Lansoprazole, esomeprazole, pantoprazole tersedia dalam formulasi intravena, menawarkan rute alternatif bagi pasien yang tidak mampu meminum proton pump inhibitor oral. Yang penting, produk intravena tidak lebih mujarab daripada inhibitor pompa proton dan secara signifikan lebih mahal. Pemilihan untuk pasien harus hati-hati untuk menghindari meningkatnya biaya dari penggunaan produk intravena.
Bentuk sediaan terbaru adalah omeprazole dalam nonprescription tablet lepas lambat dan produk kombinasi dengan natrium bikarbonat dalam kapsul lepas segera dan suspensi oral ( Zegerid ). Ini adalah pertama lepas segera proton pump inhibitor dan harus diminum pada waktu perut kosong minimal 1 jam sebelum makan. Zegerid menawarkan alternatif untuk kapsul lepas lambat atau formulasi intravena pada pasien dewasa dengan tube nasogastrik .
Pasien harus diinstruksikan untuk meminum inhibitor proton pump di pagi hari, 15 sampai 30 menit sebelum sarapan, untuk memaksimalkan keberhasilan, karena agen ini menghambat mensekresi proton pump. Pasien dengan gejala nokturnal dapat mengambil manfaat dari inhibitor proton pump sebelum makan malam. Jika dosis dua kali sehari, dosis kedua harus diberikan sekitar 10 hingga 12 jam setelah dosis pagi dan sebelum makan atau camilan. Dosis dua kali sehari juga mungkin tepat selama diagnostik untuk nyeri dada noncardiac, pada pasien dengan gejala atipikal atau rumit, dan dengan gejala lain.
Promotility Agent
Sebagai tambahan terapi supresi asam pada pasien dengan cacat motilitas misalnya: ketidakmampuan LES, penurunan pengosongan esofagus, pengosongan lambung tertunda).
Kelemahan : semua promotility agent mempunyai efek samping yang tidak diinginkan dan umumnya tidak seefektif terapi supresi asam. Efek ekstrapiramidal, sedasi, dan lekas marah umumnya dengan bethanecol dan metoclopramide.

Cisapride
Memiliki khasiat sebanding dengan antagonist H2-receptor dalam mengobati pasien dengan esofangitis ringan.
Kelemahan : tidak tersedia untuk penggunaan rutin, karena bisa mengancam aritimia jantung ketika dikombinasikan  dengan obat tertentu dan penyakit lainnya.

Metoclopramide
Metoclopramide , antagonis dopamin , meningkatkan tekanan LES yang berhubungan dengan dosis , dan mempercepat pengosongan lambung pada pasien gastro esophageal reflux . Tidak seperti cisapride, metoclopramide tidak meningkatkan pengosongan esofagus . Metoclopramide memberikan perbaikan gejala untuk beberapa pasien dengan penyakit gastroesophageal reflux.
Kelemahan : namun data yang substansial menunjukkan metoclopramide yang kurang menyediakan penyembuhan endoskopik. Selain itu, profil efek samping metoclopramide dan kejadian tachyphylaxis dibatasi pengguaannya dalam mengobati banyak pasien dengan GERD. Resiko efek samping jauh lebih besar pada pasien usia lanjut dan pada pasien dengan disfungsi ginjal karena obat ini terutama dieliminasi oleh ginjal . Kontraindikasi meliputi penyakit Parkinson , obstruksi mekanik , penggunaan seiring antagonis dopamin lain atau agen antikolinergik , dan pheochromocytoma.

Bethanecol
Bethanecol, Obat promotility, mempunyai nilai yang sangat terbatas dalam pengobatan GERD karena efek samping yang tidak diinginkan. Bethanecol tidak dianjurkan untuk pengobatan GERD dalam penggunaan rutin.

Obat promotility lainya yang sedang diselidiki
Obat promotility lainnya sedang diselidiki termasuk domperidone , antagonis dopamin , itopride , dan baclofen . Karena domperidone tidak melintasi blood brain barrier, tidak menimbulkan efek sistem saraf pusat terlihat dengan metoclopramide . Namun, saat ini tidak tersedia di Amerika Serikat . Baclofen , asam aminobutyric ( GABA ) Jenis reseptor agonis B , dapat menurunkan paparan asam esofagus dan jumlah episode refluks dengan menurunkan jumlah relaksasi transien dari LES . Namun, agen ini memiliki banyak efek samping , membatasi kegunaannya dalam GERD

Mucosa protectants
Sukralfat, garam aluminium nonabsorbable dari octasulfate sukrosa ,
memiliki nilai yang sangat terbatas dalam pengobatan GERD . Sukralfat tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam pengobatan GERD.

Terapi kombinasi
Terapi kombinasi dengan agen supresi asam dan agen promotility atau agen pelindung mukosa merupakan terapi yang logis. Namun data yang memadai mengenai kombinasi ini sangat terbatas dan pendekatan ini tidak hrus secara rutin dianjurkan kecuali pasien memiliki GERD dengan disfungsi motororik. Penambahan antagonis H2-reseptor pada waktu tidur untuk pompa proton inhibitor  telah dievaluasi untuk pengobatan gejala nokturnal.

Terapi pemeliharaan
Meskipun penyembuhan atau perbaikan gejala mungkin  dicapai melalui berbagai cara terapi yang berbeda, sebagian besar pasien dengan gastroesophageal reflux akan terjadi kambuh dan berusaha untuk melakukan penghentian terapi, terutama mereka dengan penyakit yang lebih parah. Tujuan pemeliharaan terapi adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengontrol gejala pasien dan mencegah komplikasi. Tujuan ini tidak bisa secara umum  dicapai dengan mengurangi dosis terapi yang digunakan untuk penyembuhan awal. Kebanyakan pasien akan memerlukan dosis standar untuk mencegah kekambuhan. Pasien harus diberi konseling tentang pentingnya mematuhi  perubahan gaya hidup dan terapi pemeliharaan jangka panjang untuk  mencegah terulangnya atau memburuknya penyakit.  Antagonis reseptor H2 mungkin terapi pemeliharaan yang efektif untuk pasien dengan. Inhibitor pompa proton adalah obat  pilihan untuk pengobatan pemeliharaan sedang sampai parah esophagitis  atau gejala. Meskipun tidak diteliti dengan baik,  banyak pasien dengan hanya gejala ringan sampai sedang dapat memutuskan  sendiri untuk minum obat mereka dengan cara ini untuk kepentingan finansial. Namun, pasien dengan penyakit yang lebih berat atau komplikasi  harus dipertahankan pada dosis standar inhibitor pompa proton. Penggunaan kronis jangka panjang dari dosis tinggi inhibitor pompa proton  tidak diindikasikan kecuali pasien dengan gejala parah, memiliki esophagitis per endoskopi, atau telah memiliki diagnostik lebih lanjut  evaluasi untuk menentukan tingkat paparan asam. Metoclopramide  tidak disetujui untuk terapi pemeliharaan dan penggunaannya dibatasi oleh  karena adanya profil efek samping. Terapi bedah antireflux dan endoskopi  juga dapat dianggap sebagai alternatif untuk obat jangka panjang

Terapi pemeliharaan dengan antagonis reseptor H2
Sebuah studi  mengevaluasi efektivitas antagonis H2-reseptor pada pasien GERD mendapatkan hasil yang mengecewakan. Saat ini, ranitidine 150 mg dua kali sehari adalah satu-satunya H2-reseptor antagonis yang disetujui FDA untuk pemeliharaan  menyembuhkan esofagitis erosif.

Populasi spesial untuk pasien gerd
Berikut adalah beberapa populasi yang harus dipertimbangkan ketika mendiskusikan gerd:
A. Pasien dengan gejala gerd yg tidak normal
Pasien dengan gejala gerd yg tidak normal biasanya mendapatkan terapi dengan dosis yang lebih besar dan dalam jangka waktu yg lebih panjang dibandingkan dengan pasien yany memilki gejal gerd yg jormal atau khas. Misalnya saja, pasien yang mengalami nyeri di dada yang diakibatkan bukan karena kelainan jantung, disarankan untuk mendapatkan terapi omeprazol dosis 20 mg 2x sehari selama 1-8 minggu. Beda halnya dengan pasien yang mengalami gejala ashma, terapi anti refluks mengakibatkan meningkatkan gejala gerd, dan juga sebaliknya, tetapi hal ini tieak memiliki efek ataupun efek samoingnya sangat kecil terhadap paru-paru
Terapi proton pump inhibitor selama 3 bulan pada pemakaian 2x sehari untuk indikasi gejala laring yang erat kaitannya dengan asma.
Omeprazol pada dosis 60 mg/ hari fisarankan untuk terapi batuk kronis dan refiks ambulatory. Terapi pemeliharaan, secaa umum disarankan untuk pasien yang merespon terapi atau yang memiliki bukti refluks secara endoskopis.

B. Pasien dengan refluks endoskopis negatif
Meskipun mukosa esofageal merupakan evaluasi terbaik untuk endoskopi, tapi hal ini belum memberikan ataupun menegaskan gejala yang pasti dari pemeriksaan endoskopi yang erat hubungannya dengan gerd. Pada beberapa kasus yang terjadi, pasien dengan gejala yang khas dari gerd dan meningkatnya jumlah asam tidak memilik bukti bahwa telah ada kelainan di esofageal. Banyak pasien pula  dengan pemeriksaan endoskopi terbukti normal tetap meminta terapi llayaknya pasien yang positif gers. Pasien dengan mukosa esofageal pada pemeriksaan endoskopi normal akan mengalami refkuks ambulatory gina mengaskan diagnosis dari gerd.

C. Pasien pediatrik
Gerd kira-kira terjadi pada 18% dari populasi bayi yang ada. Pada umumnyq memiliki fisiologi yang tidak dapat dijelaskan secara klinik. Komplikasi yang terjadi biasanya seperti esofagitis distil, gangguan dalam pertumbuhan, penyempitan esofagus peptic, esofagus barneth, dan juga gangguan pada paru. Muntah kronik merupakan akibat dari gerd yang merupakan gejala yang umumnya terjadi pada gerd. Pengembangan ketidak matangan LES merupakan salah 1 akibat dari gerd pada bayi. Seperti yang terjadi pada orang dewasa umumnya, relaksasi LES pada anak-anak pun juga dapat diamati.
Pada kasus lain rusaknya klirens luminal juga diakibatkan karena asam lambung yang berlebihan dan juga yang dapat mengakibatkan gangguan pada saraf.
Terapi medis yang disarankan pada kasus ini adalah kombinasi antara agen promotilitas dengan agen suppresi asam, yang memiliki kerja yang cepat. Metokloporamid digunakan sebagai antipromotilitik yang biasa digunakan pada pasien pediatri. Sedangkan ranitidinpada dosis 2 mg/kg dengan pemakaian 2x sehari digunakan sebagan agen proton pump inhibitor pada pasien pediatri. Selain itu juga digunakan lansoprazol diindikasikan untuk simptomatik dan erosiv dari gerd pada pasien peditari di atas 1 tahun. Dosis 15 mg dengan pemakaian sekali sehari direkomendasikan untuk anak dengan BB kurang darinatau sama dengan 30 kg. Sedangkan dosis 30 mg dengan pemakaian sekali sehari direkomendasikan untuk anak dengan BB di atas 30 kg, meskipun FDA sebenarnya tidak menyetujui penggunaan obat ini pada anak-anak.
Ada bukti yang mendukung mengenai keefektivitasan omeprazol untuk terapi gerd pada anak, umumnya dosis untuk terapi esofagitis 1 mg/kg per hari. Sejauh ini belum ditemukan kasus yang terjadi akibat penggunaan proton pump inhibitor pada anak usia 7 tahun atau lebih, sebenarnya tidak ada data juga yang mendukung bahwa ada proton pump inhibitor jenis lain yang digunakan untuk terapi gerd pada geriatri.

Pasien Lanjut Usia Penderita GERD
Banyak pasien lanjut usia yang mengalami penurunan mekanisme pertahanan tubuh, seperti misalnya produksi salive. Terapi yang lebih agresif dengan inhibitor pompa proton mungkin diperlukan pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun dengan GERD simtomatik. Sering kali pasien-pasien tersebut tidak mencari perawatan medis karena mereka merasa bahwa gejala-gejala yang mereka rasakan adalah bagian dari proses penuaan yang normal. Gejal-gejala ini bisa berupa gejala yang tidak spesifik seperti rasa sakit di dada, asma, suara serak, batuk, mengi, kondisi gigi yang buruk, atau nyeri gusi. Penurunan motilitas GI adalah masalah yang umum pada pasien usia lanjut. Sayangnya, tidak ada agen promotor yang baik tersedia untuk pasien-pasien tersebut. Cisapride tidak tersedia untuk penggunaan secara umjum dan pasien usia lanjut sangat sensitive pada efek susunan saraf pusat dari metoclopramide. Mereka juga mungin sensitive pada efek susunan saraf pusat dari antagonis reseptor H2. Inhibitor pompa proton tampaknya adalah terapi yang paling bermanfaat karena obat tersebut memiliki efikasi superior dan diberikan satu kali dalam sehari, yang menguntungkan pada semua pasien, tapi terutama pada pasien usia lanjut.

Pasien dengan GERD yang Sulit Diatasi
GERD yang sulit diatasi pada terapi medis jarang terjadi. Penyebab-penyebab lain dari gejala-gejala pasien harus dievaluasi. Mayoritas pasien dengan gejala-gejala yang sulit diatasi mengalami lepas kendali asam pada malam hari. Penyebab-penyebab lain dari gejala-gejala yang sulit diatasi mungkin berhubungan dengan pengaturan waktu dari inhibitor pompa proton dan perbedaan metabolism obat pada pasien-pasien tertentu. Karena itu, mengganti obat ke inhibitor pompa proton lain bisa jadi efektif untuk gejala-gejala yang sulit diatasi pada sebagian pasien. Pengawasan reflux yang berjalan bermanfaat pada pasien yang tidak merespon pada terapi. Penambahan antagonis reseptor H2 pada waktu tidur untuk gejala-gejala nocturnal telah disarankan, namun efek yang dicapai bisa jadi berdurasi pendek.

Pembedahan antireflux dan terapi-terapi endoscopic dapat juuga dipertimbangkan pada populasi pasien ini.
·         Pertimbangan Farmakoekonomik
Sebagai tambahan pada tujuan akhir klinis tradisional yang menunjukkan bahwa terapi tertentu efektif, biaya keefektifan dari terapi tersebut hubungannya untuk memperkirakan hasil dan efek-efeknya pada kualitas hidup harus dievaluasi. Untuk GERD, seseorang harus mempertimbangkan tujuan-tujuan utama terapi: meringankan gejala, menyembuhkan cidera, mencegah kambuh, dan mencegah terjadinya komplikasi. Factor-faktor ini harus dievaluasi secara terpisah, karena biaya-biaya yang berbeda terkait denan tiap-tiap tujuan akhir. Misalnnya, pasien dengan komplikasi yang terkait dengan GERD, seperti penyempitan, akan cenderung menggunakan sumber-sumber medis sebagai penyebab kunjungan-kunjungan kembali dan uji-uji diagnostic. Walaupun efek pada kualitas hidup bisa jadi sulit untuk dievaluasi jika tujuan anda untuk mencegah kambuh, GERD yang tidak diterapi memiliki efek negative lebih banyak padak kondisi psikologis daripada hipertensi, gagal jantung ringan, angina pectoris, atau menopause yang tidak diterapi. Meningkatkan kualitas hidup pasien adalah ukuran dari kesuksesan terapi dan dapat membantu memutuskan terapi yang mana yang diterima pasien.
Inhibitor pompa proton umumnya lebih mahal daripada antagonis reseptor H2 atau agen-agen promotor. Omeprazole generic dan over-the-counter tersedia sehingga mengurangi permasalahan dalam kasus ini. Namun, terapi yang paling mahal adalah terapi yang paling tidak efektif. Jika antagonis reseptor H2 tidak mencapai tujuan-tujuan terapo, maka biaya yang diperlukan menjadi bertambah karena pasien harus diterapi ulang.
Pemenuhan kebutuhan pasien adalah factor lain yang mempengaruhi hasil dari terapi obat. Aturan-aturan obat yang mudah dilaksanakan dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan pasien, sehingga bisa meningkatkan hasil terapi untuk pasien. Hal ini khususnya dapat menjadi masalah pada pasien-pasien yang membutuhkan terapi dosis tinggi dengan antagonis reseptor H2. Tidak hanya pasien diharuskan untuk mengkonsumsi obat lebih sering untuk meningkatkan dosis, tapi juga meningkatkan biaya yang dikeluarkan akibat pengaturan pengobatan tersebut. Pemilihan obat yang lebih murah dan memberikan keuntungan paling besar terkait dengan interval pemberian dosis dan jumlah tablet yang dikonsumsi adalah pengaturan yang paling optimal. Penelitian-penelitian yang membandingkan berbagai macam strategi terapi untuk GERD menunjukkan bahwa inhibitor pompa proton adalah lebih efektif secara biaya daripada antagonis reseptor H2, terutama pada pasien dengan penyakit sedang sampai parah.
Analisis keputusan telah digunakan untuk mengevaluasi keefektifan biaya dari perubahan gaya hidup dan/atau terapi langsung pada pasien itu sendiri atau mengkombinasikan dengan omeprazole 20 mg sehari sekali atau ranitidine 150 mg dua kali sehari untuk pasien dengan GERD simtomatik yang persisten. Suatu model kompleks yang dievaluasi bahwa pengaruh empiris versus terapi definitive, pemenuhan kebutuhan pasien, dan efikasi dari tiga pengaturan obat telah diterapkan. Walaupun harga eceran omeprazole adalah yang paling mahal yang dievaluasi, obat tersebut merupakan strategi yang paling efektif dilihat dari keefektifan biaya. Penelitian juga menunjukkan bahwa inhibitor pompa proton meningkatkan ukuran kualitas hidup pada pasien simtomatik dengan radang esophagus erosif. Penelitian tambahan diperlukan untuk mengevaluasi dampak dari berbagai pengaturan terapi pada masalah kualitas hidup dan biaya, dan membandingkan pelaksanaan pengobatan jangka panjan denan pembedahan antireflux dan sedikit lebih efektif secara biaya selama 5 tahun. Namun biayanya hampir sama setelah 10 tahun.

Evaluasi Hasil Terapi
Manfaat jangka panjang terapi susah dinilai karena informasi yang terbatas tentang epidemiologi dan riwayat alami dari GERD. Sebagai konsekuensinya, hasil yang dicapai umumnya diukur dalam kaitannya dengan tiga titik akhir yang terpisah: (a) menghilangkan gejala, (b) menyembuhkan luka pada mukosa, dan (c) mencegah komplikasi.
Tujuan jangka pendek dari terapi adalah untuk meringankan gejala seperti mulas dan regurgitasi sampai pada titik di mana mereka tidak merusak kualitas hidup pasien. Pasien harus diberi edukasi tentang perubahan gaya hidup yang harus dipatuhi selama terapi, termasuk berhenti merokok, menurunkan berat badan, meningkatkan kepala pada tempat tidur, makan makanan ringan, dan menghindari makan sebelum tidur. Pasien juga harus diinstruksikan untuk menghindari atau membatasi makanan yang memperburuk gejala GERD, seperti lemak dan coklat. Selain itu, profil obat pasien harus ditinjau untuk mengidentifikasi obat yang dapat menyebabkan gejala GERD. Agen iniharus dihindari bila memungkinkan. Tabel 34-6 mempunyai rekomendasi untuk memberikan pelayanan farmasi untuk pasien dengan GERD.
Dokter harus ikut berperan aktif dalam mengedukasi pasien tentang efek samping potensial dan interaksi obat yang mungkin terjadi dengan terapi obat. Frekuensi dan tingkat keparahan gejala harus dipantau dan pasien harus diberi konseling tentang gejala-gejala yang menunjukkan adanya komplikasi yang membutuhkan perhatian medis segera, seperti disfagia atau odynophagia. Pasien dengan gejala persisten harus dievaluasi untuk adanya penyempitan atau komplikasi lain. Pasien juga harus dipantau untuk adanya gejala lazim seperti batuk, asma nonallergic, atau nyeri dada. Gejala ini membutuhkan evaluasi diagnostik lebih lanjut. Pengobatan pemeliharaan jangka panjang diindikasikan pada pasien yang mengalami penyempitan karena penyempitan umumnya kambuh jika refluks esofagitis tidak diobati.Tujuan yang kedua adalah menyembuhkan luka mukosa.
Tujuan kedua adalah untuk menyembuhkan mukosa terluka. Sekali lagi, perubahan gaya hidup dan pentingnya mematuhi regimen terapi yang dipilih untuk menyembuhkan mukosa harus ditekankan. Pasien harus diberi edukasi tentang risiko kambuh dan kebutuhan untuk terapi pemeliharaan jangka panjang untuk mencegah kekambuhan atau komplikasi.
Terakhir, tujuan jangka panjang lain dari terapi adalah menurunkan resiko komplikasi (esophagitis, penyempitan, dan Barrett’s esophagus).Sebagian kecil pasien dapat terus mengalami kegagalan pengobatan meskipun terapi dengan dosis tinggi antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton. Pasien harus dipantau untuk adanya nyeri terus-menerus, disfagia, atau odynophagia.

 BAB III
PENUTUP
  
Kesimpulan


Penyakit Gastroesophageal reflux adalah penyakit umum yang secara klasik muncul sebagai sakit maag. Patofisiologi refluks adalah kompleks, yang melibatkan kedua faktor agresif (asam, pepsin, asam empedu, enzim pankreas, dan prostaglandin) dan sistem kekebalan (faktor anatomi, tekanan LES, clearance esofagus, dan pengosongan lambung). Modalitas terapi yang dirancang untuk meminimalkan faktor-faktor agresif dan / atau menambah sistem kekebalan.

Daftar Pustaka: Dipiro. 2008. Pharmacotherapy- A Pathophysiologic Approach, 7th ed.