Minggu, 30 Oktober 2011

Antibodi Poliklonal dan Monoklonal

Antibodi poliklonal
Yaitu di dalam suatu populasi antibodi terdapat lebih dari 1 macam antibodi, atau campuran antibodi yang mengenal epitop yang berbeda pada antigen yang sama.
Proses yang terjadi pada antibodi poliklonal:
  1. Diproduksi dengan imunisasi hewan dengan antigen yang tepat.
  2. Imunisasi atau vaksinasi adalah suatu prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas seseorang terhadap patogen tertentu atau toksin. Imunisasi yang ideal adalah yang dapat mengaktifkan sistem pengenalan imun dan sistem efektor yang diperlukan. Hal tersebut dapat diperoleh dengan pemberian antigen yang tidak patogenik.
  3. Serum dari hewan terimunisasi dikumpulkan
  4. Antibodi dalam serum dapat dimurnikan lebih lanjut.
  5. Karena satu antigen menginduksi produksi banyak antibodi maka hasilnya berupa ‘polyclonal’ /campuran antibodi.

Antibodi Monoklonal (MAb)
Yaitu antibodi homogen yang dengan spesifitas yang sama diproduksi dari klon tungal dari sel yang menghailkan antibodi. Klon adalah segolongan sel yang berasal dari satu sel karena secara gentiknya identik.
  • Mono: Satu
  • Klone: strain sel yang diturnkan dari satu sel.
  • Antibodi monoklonal diproduksi dari fusi sel B dan sel myeloma membentuk hibridoma.
  • Antibodi monoklonal hanya mengenal satu epitop.
Gambar 1.
Tahapan dalam produksi antibodi monoclonal:
  1. Produksi dan seleksi hibridoma yang diharapkan
  2. Amplifikasi MAb dari sel hibridoma terpilih
    1. Produksi ascites
    2. Fermentasi melalui kultur sel
  1. Purifikasi MAbs
    1. Filtrasi
    2. Ultrasentrifugasi
    3. Kromatografi afinitas
  2. Proses penambahan: disebut konjugasi
  3. Formulasi dan sterilisasi
Gambar 2.
Gambar 3.

Antibodi monoklonal dapat digunakan untuk tiga tujuan berikut:
1. pemurnian reagen untuk tes atau penelitian
2. sebagai penanda pada deteksi assays
3. untuk eksperimental terapi
Aplikasi terapi dari Antibodi monoklonal
  1. Induksi imunisasi pasif
  2. Diagnostik imaging
  3. Diagnostik nolekular
  4. Monitoring terapi obat (untuk live-saving drug)
  5. Sistem penghantaran obat (DDS)
  6. Isolasi dan atau purifikasi obat baru
  7. Terapi kanker

Toksin yang biasa dikonjugasikan dengan antibodi monoklonal persiapan untuk penggunaan klinik sebagai agen antikanker:
  1. ricin
  2. pokeweed
  3. gelonin
  4. Pseudomonas endotoksin
  5. Diptheria toksin
  6. abrin
  7. protein antiviral

Antibodi monoklonal untuk tujuan terapetik:
  • Murine antibodi monoklonal pertama dikembangkan sebagai alat diagnostic di tahun 1970an (Milstein san Brown).
  • Efikasi terapetik yang terbatas untuk pengembangan HAMA (Human Anti-Mouse Antibodies) ~ 14 hari, 50-80 % pasien
  • Chimeric dan humanised antibodi monoklonal mencegah perkembangan HAMA.
Monoclonal Antibodies in Oncology

Antibodi monoklonal pada B-Cell Lymphomas
  • Rituximab:  Naked chimeric monoclonal antibody against CD20 antigen
  • CD20 on cell surface of most B-cell malignancies except primitive B-cell ALL and post-mature myeloma cells

Key features of Rituximab
  • Chimeric anti-CD20 MoAb
  • Activates complement mediated cytotoxicity & Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)
  • Mempunyai efek anti-tumor langsung
  • Aktivitas sinergis dengan kemoterapi
  • Sensitises chemoresistant cell lines
Chimeric dan humanized antibodi (dibandingkan dengan murine Ab)
  1. Menurunkan tingkat imunogenitas secara signifikan (80% à 5%)
  2. Waktu paruh di serum yang lebih lama (14-23 hari dibandingkan dengan 30-40 jam), sehingga frekuensi pemberian bisa dikurangi
  3. Allow activation of various Fc-mediated functions eg. Activation of complement



PENGARUH FAKTOR GENETIK TERHADAP METABOLISME DAN RESPON OBAT


Adanya variasi genetik menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap perbedaan fenotip dari masing-masing etnik.
Keterlibatan gen dan protein di dalam perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap obat telah lama menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang farmasi. Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini dapat menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon obat khususnya pada tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan obat. Untuk itu dibutuhkan suatu perangkat yang mampu mengidentifikasi suatu marker tertentu yang dapat memperkirakan terjadinya respon negatif atau respon positif dalam pengembangan obat yang didasarkan pada pendekatan teknologi genom tersebut.
Dalam ulasan berikut  ini akan diuraikan tentang hubungan antara respon obat dengan heterogenisitas genom manusia agar dapat digunakan dalam mengidentifikasi target kerja obat secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta terapi berdasarkan pendekatan genetik.
Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang pengaruh faktor genetik terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai ilmu yang mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.   Hal ini didasarkan atas terjadinya perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut dapat kita tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek, menurun. Efek atau justru cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang farmakogenetik dapat digunkana untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib obat dalam tubuh.
Farmakogenomik berakar dari farmakogenetik, suatu bidang ilmu yang telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu. Farmakogenomik mencakup studi mengenai keseluruhan genom manusia, sementara genetik merupakan studi mengenai gen individual. Farmakogenomik mengamati respon obat terhadap keseluruhan genom, sedangkan farmakogenetik mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.  Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat dan rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis maupun ADR (adverse drug reaction) karena penggunaan metode trial-and-error.Metode trial-and-error dengan pendekatan one-drug-fits-all yang dilakukan dalam penatalaksanaan pasien seringkali memberikan hasil yang tidak efektif dan efisien, membuang waktu, tingginya biaya yang dikeluarkan, dan yang terpenting, gagalnya terapi. Analisis farmakogenomik membantu mengidentifikasi pasien yang memetabolisme obat tertentu secara abnormal. Penderita seperti ini umumnya memetabolisme suatu obat tertentu dengan cepat sehingga tidak berefek terapi (terhadap sistem yang dituju). Respons yang berbeda-beda inilah yang dipelajari dalam ilmu farmakogenomik dan farmakogenetik sebagai bagian dari perkembangan ilmu biologi molekuler. Saat ini telah ditemukan dalam sejumlah populasi di Indonesia yang tidak memiliki enzim tertentu di hatinya. Enzim ini berfungsi untuk mengkonjugasikan obat tertentu. Berdasarkan hal itu, dianggap perlu adanya pemilihan pengobatan secara khusus (fungsi farmakogenomik) dengan variasi 15-50% populasi. Meski demikian, sistem “pengobatan individual” tidak hanya untuk kuratif, tetapi juga preventif. Dengan data gen yang sudah dikumpulkan, bisa diketahui seseorang atau suatu populasi berisiko atau tidak terhadap penyakit tertentu. Kalau ternyata dari data genetik tersebut misalnya seseorang rentan terhadap penyakit jantung atau kanker usus besar, maka sejak dini individu bersangkutan sudah bisa diingatkan agar mengatur pola makan maupun aktivitas fisiknya. Di Amerika Serikat, menurut Penelope Manasco, wakil president First Genetik Trust,
Illinois yang menangani data genetik dan bioinformatik, saat ini efektifitas obat dalam penatalaksanaan pasien berada dalam range 30-50%. Hal ini suatu hal yang mengkhawatirkan untuk obat tertentu seperti berbagai macam antidepresi dimana pemilihan obat yang tepat memakan waktu 6 -12 bulan. Dengan harapan ilmu farmakogenomik, probabilitas keefektifitasan obat akan dapat meningkat menjadi 70-80%. Variasi genetik dapat timbul karena adanya mutasi, delesi, inversi.
POLIMORFISME GENETIK
Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan  ekspresi genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.
Pengaruh terjadinya perbedaan variasi genetik dapat dilihat secara rinci dalam gambaran berikut.
Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan ekspresi genetik, maupun keberadaan varian genetik secara langsung dapat mempengaruhi respon yang berbeda-beda terhadap pemakaian obat.
Berikut ini beberapa contoh obat dan respon pemakiannya dalam populasi dengan gentika yang berbeda:
Isoniazid
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.
Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-asetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari  gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.
Gambar
Gambar ? menunjukkan adanya polimorfisme genetik dalam metabolisme obat. Grafik menunjukkan distribusi konsentrasi isoniazid dalam plasma pada 267 individu dalam 6 jam setelah suatu dosis oral 9,8 mg/kg. Distribusi ini jelas bersifat bimodal. Individu dengan kadar plasma lebih besar dari 2,5 mg/ml pada 6 jam tersebut dipandang sebagai asetilator lambat.
5-fluorouracil (5-FU)
Respon penggunaan 5-fluorouracil (5-FU) sebagai kemoterapi untuk kanker kolon ternyata sangat bervariasi. Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap ekspresi enzim timidilat sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat sintetase bervariasi pada setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU. Sedangkan penderita yang ekspresi mRNA TS tinggi ternyata tidak memperlihatkan respon pengobatan dengan kemoterapi ini (Leichman et al., 1997,). Hasil penelitian serupa ditunjukkan pula pada uji klinik penggunaan 5-FU ini terhadap penderita kanker lambung (Lenz et al., 1996). Genotipe dari gen TYMS, yang menyandi ekspresi enzim timidilat sintetase, ditentukan dengan mengamplifikasi gen/DNA dengan teknik PCR yang diisolasi dari 90 penderita kanker kolon yang mendapatkan pengobatan 5-FU. Hasilnya menunjukkan bahwa gen TYMS ternyata bersifat polimorfisme, mempunyai double (2R) atau triple(3R) tandem repeats pada 28-bp promoter gen, dan terdapat variasi 6-bp pada 3’-untranslated region (3’-UTR). Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan pemetaan genotipe dari gen TYMS dari penderita kanker yang akan diobati dengan 5-fluorouracil. Hal ini diperlukan untuk memprediksi respon obat dan efek toksik yang tidak diinginkan akibat penggunaan  5-FU (Lecomte et al., 2004, Pullarkat et al., 2001).
Warfarin
Pemetaan genotipe sangat membantu dalam penentuan dosis obat yang diberikan, memprediksi kemungkinan munculnya efek toksik suatu pengobatan, dan memungkinkan untuk melakukan pengobatan secara individual berdasarkan sifat genotipe seseorang. Contoh penelitian lainnya adalah  perbedaan respon penggunaan warfarin sebagai antikoagulan. Respon terhadap warfarin ternyata sangat bervariasi antar individu. Penggunaan warfarin yang tidak tepat dosis seringkali menyebabkan perdarahan serius. Perbedaan respon terhadap warfarin yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP2C9, CYP3A5, sangat tergantung pada peran P-glikoprotein yang ekspresinya disandi oleh gen adenosine triphosphate-binding cassette, ABCB1 atau juga disebut dengan multi dug resistance gene 1, MDR1. Variasi genetik dari gen ABCB1 yang dianalisis dengan teknik minisequencing terhadap 210 penderita, menunjukkan bahwa pemilihan dosis yang tepat untuk masingmasing varian genetik sangat penting untuk mendapatkan respon obat yang diinginkan (Wadelius et al., 2004).
Tabel. Contoh nasib obat dalam tubuh kaitannya dengan faktor genetik
Obat Respon Mekanisme Kerja
Isoniazid, hidralazin,prokainamid, sulfametazin, dapson Asetilator cepat: Respon     , toksisitas oleh                      derivate N-Asetil
Asetilator lambat;
Toksisitas meningkat
Perbedaan aktivitas enzim N-asetil transferase
Debrisokuin, metaprolol, lidokain, perheksilin Hidroksilator ekstensif; Respon
HIdroksilator lambat
Respon naik
Perbedaan salah satu sitokrom P450 hati yang mengoksidasi debrisokuin / spartein
S-mefenitoin, diazepam, omeprazol Hidroksilator ekstensif; Respon
HIdroksilator lambat
Respon naik
Perbedaan salah satu sitokrom P450 hati yang mengoksidasi S-mefenitoin
Suksinilkolin Apnea meningkat Aktivitas psedukolinesterse meningkat
Primakuin, klorokuin, kuinin, kuinidin, sulfa, sulfon, nitrofurantion, koramfenikol, aspirin, PAS Hemolisis pada pemberian bersama obat-obat yang bersifat oksidator Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase

Sabtu, 29 Oktober 2011

Konspirasi "Dokter" Dengan Perusahaan Farmasi


Hasil riset menunjukkan, para dokter cenderung memberi resep obat buatan perusahaan farmasi yang mempromosikan produknya ke dokter bersangkutan. Alhasil, pasien harus membayar lebih biaya obat tersebut dan seringkali tidak memeroleh pengobatan yang tepat .

Fakta tersebut adalah hasil penelitian yang digagas Geoffrey Spurling dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia.  Hasil analisis terhadap 58 studi di sejumlah negara itu juga mengungkapkan bahwa informasi dari perusahaan farmasi mempengaruhi para dokter dalam menetapkan resep kepada pasiennya.

"Anda tak bisa mengatakan bahwa informasi dari perusahaan-perusahaan farmasi itu membantu peresepan obat para dokter seperti diklaim perusahaan-perusahaan farmasi itu," kata Spurling.

Klaim para dokter bahwa mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh informasi perusahaan farmasi saat memutuskan resep obat pasiennya juga tidak terbukti daalam hasil studi itu.

"Anda patut mengatakan bahwa setidaknya pada saat tertentu, para dokter itu terpengaruh," ujar Spurling seperti diberitakan Reuters.

Beberapa peneliti yang terlibat dalam riset Spurling ini merupakan anggota "Healthy Skepticism", organisasi riset, pendidikan, bantuan hukum nirlaba internasional yang dibentuk untuk membantu mengurangi bahaya informasi kesehatan yang menyesatkan bagi publik.
Laporan penelitian itu menyebutkan bahwa para dokter yang menerima penjelasan maupun informasi dari perusahaan farmasi lebih mungkin memberi resep obat produksi perusahaan farmasi bersangkutan kepada pasiennya.

Hasil 38 studi yang dilakukan juga menunjukkan adanya kecenderungan keterkaitan langsung antara informasi perusahaan farmasi itu dan peresepan obat.

Namun hasil 13 studi lainnya tidak menunjukkan adanya keterkaitan itu, kata Suprling dan anggota tim riset pimpinannya dalam laporan penelitian yang dipublikasi jurnal "Public Library of Science PLoS Medicine" tersebut. 

Tidak satu pun hasil studi itu mendapati para dokter menjadi kurang sering memberi resep obat karena bahan promosi maupun informasi perusahaan farmasi.

Menanggapi hasil riset yang dilakukan di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, Prancis, Estonia, Turki dan Australia, Dr.Sid Wolfe dari kelompok advokasi, Public Citizen, mengatakan bahwa industri farmasi tidak mengeluarkan dananya berikut staf penjualan obat kalau tingkat keberhasilannya nol.

"Mayoritas dokter mendapatkan informasi tentang obat-obatan dari industri farmasi ini," katanya.

Para staf penjualan obat perusahaan farmasi ini bahkan sering membawakan makan siang ke kantor seorang dokter praktik maupun mengundang mereka ke acara-acara olah raga dan hiburan lainnya saat mereka memberikan penjelasan.

Menurut Spurling, hasil studi di Inggris terhadap lebih dari seribu orang dokter umum mendapati bahwa mereka yang lebih sering bertemu staf pemasaran obat cenderung lebih sering memberi resep-resep obat mahal. Namun, tidak ada jaminan bahwa pasien mendapatikan obat-obatan yang tepat bagi penyakitnya.

Mengutip hasil-hasil studi yang ada, Spurling mengatakan, mutu resep obat yang diberikan para dokter kepada pasiennya itu berada di bawah standar pedoman maupun rekomendasi para ahli.

Sebagai contoh, pedoman resmi di Amerika meminta para dokter menggunakan obat-obatan generik yang terlama dan termurah bagi para penderita tekanan darah tinggi dan diabetes sebelum beralih ke obat-obat paten yang lebih baru dan biasanya masuk kategori resep obat-obat berbahaya.

Temuan empiris ini mendorong para peneliti mengusulkan adanya pengaturan terhadap besaran dana yang boleh dialokasikan industri farmasi untuk kepentingan promosi produk mereka. Pada 2004 saja, perusahaan-perusahaan obat Amerika menghabiskan dana sebesar 57,5 miliar dolar AS untuk kegiatan promosi.

"Kita perlu regulasi yang lebih atas promosi obat. Kita tidak mendapati adanya manfaat apapun," katanya.

Selain itu, para dokter juga perlu mendapat informasi tentang obat dari sumber yang beragam seperti universitas dan organisasi-organisasi kredibel lainnya, katanya.

"Seorang dokter yang lain tentu mengikuti informasi terkini soal obat dari kebiasaan membaca literatur dan jurnal-jurnal ilmiah," kata Wolfe.

Kalau para dokter tak punya waktu memperoleh informasi obat dari kebiasaan membaca melainkan bergantung pada penjelasan staf penjualan perusahaan farmasi, mereka berarti bukanlah dokter yang baik, katanya.

Berkaitan dengan masalah ini, ProPublica, pendukung jurnalisme investigatif, dan sejumlah organisasi lainnya di AS membeberkan fakta bahwa tujuh perusahaan farmasi di negara adidaya itu membayar ribuan dollar AS kepada sedikitnya 17 ribu orang dokter untuk berbicara dengan sejawatnya tentang produk-produk obat perusahaan farmasi yang bermitra dengannya. (Kompas.com)

Jumat, 21 Oktober 2011

Praktikum Fisiologi

PENYELIDIKAN JANTUNG KATAK
Oleh
 Anita Meilina Akhmad

Hasil Pengamatan
Jenis Perlakuan
Kelompok
Pengamatan Terhadap Kontraksi
Jumlah Denyut/ Menit
Kuat/Lemah
Normal
1
60


2
50


3
64


4
63

Rata-Rata
59,25

Panas
1
62
Kuat

2
52
Kuat

3
57
Lemah

4
68
Kuat
Rata-Rata
59,75

Dingin
1
55
Lemah

2
47
Lemah

3
54
Lemah

4
62
Lemah
Rata-Rata
54,5

Acetylcolin
1
36


2
27


3
49


4
58

Rata-Rata
42,5

Otomasi
32

Pembahasan
Jantung katak berbeda dengan jantung manusia. Secara anatomis jantung katak terbagi menjadi tiga ruang yaitu sinus venosus, dua atrium dan satu ventrikel. Sinus venosus adalah ruangan sekitar jantung. Melalui pengamatan darah mengalir melalui sinus venosus kemudian darah mengalir ke atrium dan mengisi ruang ventrikel sebelum darah dipompa kembali oleh otot- otot di ventrikel keseluruh tubuh. Darah vena dari seluruh tubuh mengalir masuk ke sinus venosus dan kemudian mengalir menuju ke atrium. Dari atrium, darah mengalir ke ventrikel yang kemudian di pompa keluar melalui arteri pulmonalis. Secara garis besar peredaran darah katak sama seperti peredaran darah manusia namun saat darah dialirkan kembali melalui vena darah terlebih dahulu mengisi sinus venosus. Jantung katak memiliki respon yang kurang lebih sama dengan jantung manusia, contohnya denyut jantung akan meningkat saat dingin/panas dan melambat saat dingin/panas, kerjanya dapat dipengaruhi oleh hormone, dan memiliki band moderator.
Percobaan pertamakali yang dilakukan pada jantung katak adalah mengenai pengaruh suhu terhadap jantung katak. Saat jantung katak di beri larutan fisiologis sebanyak 3 tetes pada suhu kamar jantung bekerja 63/menit, itu adalah kerja normal jantung pada suhu normalnya dalam rata-rata 59,25. Dapat dilihat bahwa kontraksi jantung terdiri dari kontraksi atrium dan kontraksi ventrikel (pada perubahan warna, dimana saat jantung berkontraksi warna jantung pucat, dan saat relaksasi warna jantung merah kecoklatan). Kedua macam kontraksi menunjukkan bahwa siklus jantung terdiri dari systole dan diastole. Systole merupakan periode kontraksi ventrikel, saat jantung memompakan darahnya dari ventrikel ke sirkulasi pulmonal (A pulmonalis) dan ke sirkulasi sistemik(Aorta)Pada saat sistole katub-katub AV (mitralis dan bikuspidalis) menutup sedangkan katub-katub semilunaris (katub aorta dan katub pilmonal) membuka sehingga ventrikel yang berkontraksi (tekanannya meningkat) memompakan darahnya ke aorta dan A pulmonalis. Sedangkan diastole menunjukkan periode relaksasi ventrikel (kontraksi atrium) saat ventrikel menerima darah dari atrium yang sebelumnya telah menerima darah dari paru (V pulmonalis) dan dari seluruh tubuh (vena cava). Pada saat distole katub-katub semilunaris (katub aorta dan katub pulmonal) menutup sedangkan katub-katub AV (mitralis dan bikuspidalis) membuka sehingga atrium yang berkontraksi (tekanannya meningkat) memompakan darahnya ke ventrikel.
Kontraksi atrium terjadi hampir bersamaan dengan relaksasi ventrikel, walaupun pada saat ventrikel relaksasi, atrium berkontraksi namun besarnya tekanan kedua ruangan ini hampir sama. Sedangkan pada saat atrium relaksasi juga tak tampak karena tertutup oleh besarnya tekanan pada ventrikel yang sedang berkontraksi, dimana proses kontraksi dan relaksasi (systole dan diastole) dari atrium maupun ventrikel pada keadaan normal akan terjadi terus-menerus.
Berbeda halnya setelah jantung diberi 3 tetes larutan fisiologis pada suhu 40-50°C ternyata ritme jantung katak meningkat menjadi 63/menit dalam rata-rata 59,75.Hal ini disebabkan oleh respon feed back mechanism otot jantung yang bekerja lebih keras untuk mempertahankan suhu normal jantung. Dari percobaan terlihat adanya peningkatan frekuensi, tetapi amplitudonya tetap setelah diberi larutan ringer 37 oC. Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu mengakibatkan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion meningkat, sehigga mempercepat self excitation process dari SA node.
Kenaikan suhu menyebabkan permeabilitas sel otot terhadap ion meningkat sehingga ion inflow meningkat, terjadilah depolarisasi. Saat potensial membran mencapai nilai ambang, maka akan terjadi potensial aksi yang kemudian dikonduksikan ke AV node, lalu ke bundle of his, kemudian ke saraf purkinje dan akhirnya ke seluruh otot ventrikel berkontraksi secara cepat. Akibatnya frekuensi denyut jantung meningkat, tetapi amplitudonya tetap. Tapi perlu diperhatikan bahwa bila peningkatan suhu >42˚C atau berlangsung lama, dapat melemahkan sistem metabolik. Hal ini disebabkan karena enzim tidak bisa bekerja dalam suhu tinggi sehingga menyebabkan kerusakn protein.
Seperti pada grafik dibawah ini, dimana peningkatan kontraksi otot  jantung meningkat secara significant.
Begitu pula pada saat jantung diberi 3 tetes larutan fisiologis dengan suhu 4-10°C, dimana sebelu. Jantung bekerja lebih lambat menjadi 62/menit dalam rata-rata 54,5. Dari percobaan terlihat adanya penurunan frekuensi dan amplitudo setelah pemberian larutan Ringer dengan suhu dingin (4-10°C). Hal ini disebabkan karena penurunan suhu menyebabkan penurunan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion, sehingga diperlukan waktu lama untuk mencapai nilai ambang, jadi self excitation juga akan menurun . Akibatnya kontraksi otot jantung juga mengalami penurunan.
Perubahan denyut jantung pada suhu yang berbeda terlihat lebih jelas pada percobaan ini karena digunakan jantung katak yang memiliki sifat poikilotermik yang dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan.
Seperti pada grafik dibawah ini, dimana peningkatan kontraksi otot  jantung meningkat secara significant.
Percobaan kedua yang dilakukan adalah jantung diberikan rangsangan berupa hormone asetilkolin. Sebelum diberikan hormone asetilkolin jantung bekerja pada suhu ruang 63/menit dalam rata-rata 59,25. Setelah diberikan asetilkolin kerja jantung menjadi lebih lemah yaitu 58/menit dalam 42,5. Acetylkolin mempunyai efek seperti perangsangan saraf parasimpatis, yaitu secara umum menyebabkan melemahnya efektifitas jantung sebagai pompa.
Pemberian Acetylcholin dapat menurunkan frekuensi dan amplitudo kontraksi jantung. Hal ini terjadi karena acetylcholin meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion K, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi, yaitu meningkatnya permeabilitas negative dalam sel otot jantung yang membuat jaringan menjadi kurang peka terhadap rangsangan. Di dalam AV node, hiperpolarisasi ini menyebabkan penghambatan jungctional yang berukuran kecil untuk merangsang AV node, sehingga terjadi perlambatan kontraksi impuls dan akhirnya terjadi penurunan kontraksi.
Percobaan ketiga adalah melihat otomasi jantung diluar tubuh. Jantung memang memiliki otomasi sendiri di otot jantung berupa serabut purkinje dan serabut his. Terbukti tanpa adanya koordinasi syaraf simpatis dan parasimpatis jantung tetap dapat berdetak diluar tubuh yaitu 32/menit. Tetapi karena kondisi diluar tubuh tidak cocok dengan jantung maka jantung kerjanya menjadi semakin melemah. Jadi, sifat otomasi jantung mampu menyebabkan jantung tetap berdenyut meski tanpa ada impuls dari syaraf.
Kontraksi jantung tidak semata-mata tergantung dari impuls yang dihantarkan oleh saraf. Jantung mempunyai kemampuan untuk self excitation sehingga dapat berkontraksi secara otomatis walaupun telah dilepas dari tubuh dan semua saraf menuju jantung telah dipotong.
Pada peristiwa self excitation, SA node menghantarkan impuls ke AV node yang kemudian diteruskan ke serabut purkinje sehingga otot jantung dapat berkontraksi. Ini menunjukkan bahwa self excitation adalah suatu sistem konduksi khusus dari SA node sebagai pace maker. Self excitation ini dilakukan oleh SA node sebagai pace maker karena membran selnya mudah dilewati ion Na sehingga RMPnya rendah. Selain itu juga karena kebocoran alamiah ion Na+.
Sedangkan perbedaan hasil pada kelompok 3, dimana ditunjukkan bahwa pada kontraksi suhu normal jantung memompa hingga 64/menit dalam 59,25 tetapi ketika mengalami pergantian suhu dimana dengan menggunakan ringer panas pada suhu 40-50°C kontraksi denyut jantung mengalami penurunan menjadi 57/menit dalam 59,75. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada, oleh karna itu kemungkinan hasil pengamatan praktikan klompok 3 mungkin mengalami kesalahan. Kesalahan dalam hasil analisis dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, factor yang mempengaruhinya adalah:
·         Aktivitas dan faktor yang mempengaruhi denyut jantung Katak bertambah lambat setelah dalam keadaan tenang.
·         Ukuran dan umur, dimana spesies yang lebih besar cenderung mempunyai denyut jantung yang lebih lambat.
·         Cahaya, pada keadaan gelap denyut jantung Katak mengalami penurunan sedangkan pada keadaan terang denyut jantung Katak mengalami peningkatan.
·         Temperatur, denyut jantung Katak akan bertambah tinggi apabila suhu meningkat.
·         Obat-obat (senyawa kimia), zat kimia menyebabkan aktivitas denyut jantung Katak menjadi tinggi atau meningkat.
Ketidaksesuaiaan pengamatan dengan teori tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurang tepatnya perlakuan yang diberikan, yaitu shocking/kejutan suhu yang sudah berlangsung selang beberapa lama, sehingga suhunya dimungkinkan sudah mengalami perubahan walaupun sedikit. sehingga hasil yang diperoleh pun kurang akurat.
Dari hasil pengamatan keseluruhan praktikan dari tiap kelompok didapatkan perbandingan yang sama. Hal tersebut dikarenakan hewan kecil memiliki frekuensi denyut jantung yang lebih cepat dari pada hewan dewasa, baik itu pada suhu atau temperatur panas, sedang, dingin, maupun alkoholik yang disebabkan adanya kecepatan metabolik yang dimiliki hewan kecil tersebut.