Rabu, 27 November 2013

Biofarmasetika Obat

Aspek Biofarmasetika dari Produk Obat
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sitemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Biovailabiltas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif mencapai sirkulasi sitemik. Absorpsi sitemik dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh sifat anatomik dan fisiologi tempat absorpsi, serta sifat fisikokimia/ produk obat. Proses absorpsi sistemik meliputi: disentegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat dalam media “aqueous”, dan absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik.  Untuk merancang obat yang dapat lepas paling banyak di sistemik yaitu dengan mempertimbangkan jenis produk obat (larutan, suspensi, supositoria), sifat bahan tambahan, dan sifat fisikokimia obat.
Perjalanan Obat
Perjalanan obat melewati membran sel dipengaruhi oleh sifat fisikokimia, yaitu kelarutan molekul obat dalam lipid dan ukuran molekul. Obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut dalam lemak/larut dalam air. Obat yang bersifat elektrolit lemah, misalnya asam/basa lemah, besarnya ionisasi mempengaruhi laju pengangkutan obat. Obat yang terionisasi mempunyai muatan dan menjadikannya lebih larut dalam air daripada obat yang tidak terionisasi. Jumlah ionisasi bergantung pada pKa dan pH medium obat terlarut. Obat yang memiliki molekul yang sangat kecil (urea) dan ion kecil (Na+, K+, dan Li+) bergerak melewati membran dengan cepat. Sebaliknya, makromolekul yang sangat besar (protein) tidak melewati membran sel atau dapat melewati api dalam jumlah sangat kecil.
Fenomena pengangkutan fisiologik yang mempengaruhi mekanisme obat melewati membran sel adalah:
1.      Difusi pasif, yang merupakan bagian terbesar dari proses transmembran pada obat. Tenaga pendorong difusi pasif adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Dalam Hukum Fick , dimana dQ/dt= laju difusi, D= koefisien difusi, K=Koefisien partisi, A=Luas permukaan membran, h=tebal membran, dan CGI-Cp= perbedaan konsentrasi obat dalam saluran cerna dan plasma.
2.      Transpor Aktif, yaitu proses transmembran yang diperantai oleh pembawa yang berperan penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit.
3.      Difusi yang dipermudah (fasilitated diffusion), merupakan sistem transpor yang diperantai pembawa, dimana obat bergerak karena perbedaan konsentrasi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
4.      Pinositosis (transpor vesikular), merupakan proses fagositosis, dimana membran sel menyelubungi sekeliling bahan makromolekuler dan kemudian “mencaplok” bahan tersebut kedalam sel.
5.      Transpor melalui pori (konvektif), dimana molekul yang sangat kecil (urea, air, gula) dapat melintasi membran sel dengan cepat jika membran mempunyai celah/pori.
Faktor Farmasetik Bioavalabilitas Obat
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif yaitu:
1.      Disentegrasi. Sebelum absorpsi terjadi, obat padat harus mengalami disentegrasi kedalam partikel kecil dan melepaskan obat. Disentegrasi yang sempurna menurut USP XX yaitu keadaan dimana berbagai residu tablet, kecuali fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan alat uji sebagai massa yang lunak dan jelas tidak mempunyai inti teraba.
2.      Pelarutan obat, merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh (stagnant layer), berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Laju pelarutan merupakan jumlah obat terlarut per satuan luas per waktu. Suhu media dan kecepatan pengadukan juga mempengaruhi laju pelarutan. Kenaikan suhu meningkatkan energi kinetik molekul dan tetapan difusi, sebaliknya kenaikan pengadukan dari media pelarut akan menurunkan tebal “stagnant layer” dan h sehingga pelarutan obat lebih cepat.
3.      Sifat fisikokimia obat. Sifat fisika dan kimia partikel obat berpengaruh pada kinetika pelarutan. Sifat tersebut terdiri dari, luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat polimorf.
4.      Faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan obat, dimana adanya bahan tambahan (bahan penyuspensi, surfaktan, pelincir tablet) yang digunakan pada formulasi obat dapat berinteraksi secara langsung dengan obat membentuk kompleks yang larut/tidak larut air.
Pertimbangan dalam rancangan bentuk sediaan
Pertimbangan dalam merancang sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Pertimbangan tersebut yaitu meliputi:
1.      Pertimbangan Penderitaan: Obat yang pahit dapat dibuat berupa tablet/ kapsul yang dienkapsulasi/disalut, ukuran cukup kecil agar mudah ditelan, dan frekwensi pemberian dosis dijaga minimum.
2.      Pertimbangan dosis: Obat tersedia dalam berbagai macam kekuatan dosis dengan didasarkan luas permukaan tubuh, berat badan, dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh.
3.      Pertimbangan frekwensi pemberian dosis: Dikaitan dengan waktu paruh eliminasi obat dan konsentrasi terapetik obat.
4.      Pertimbangan terapetik: Tergantung kondisi terapi yang segera atau akut. Misalnya obat penghilang rasa sakit yang harus diabsorpsi cepat agar rasa sakit cepat hilang, sedangkan obat asmatik dirancang untuk diabsorpsi lambat agar efek perlindungan obat berakhir dalam jangka waktu lama.
5.      Efek samping dalam saluran cerna: Untuk obat yang mengiritasi lambung dapat diatasi dengan disalut enterik atau untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dapat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai larutan.
Pertimbangan rute pemberian
Suatu obat diberikan dalam berbagai rute dan tetap meghasilkan aktifitas yang ekivalen, tetapi lama dan mula kerja berubah karena perubahan farmakokinetika yang disebabkan oleh rute pemberian.
1.      Produk Parenteral
a.    Obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk kedalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh tubuh. Hanya untuk obat yang larut air. Pelarut yang digunakan adalah kombinasi propilen gilikol dengan pelarut lain.
b.    Obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan absorpsi karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat/lambat dengan mengubah pembawasediaan injeksi. Keuntungannya adalah fleksibilitas formulasi.
2.      Tablet Bukal. Tablet ini dirancang untuk terlarut dibawah lidah dan di absorpsi dalam rongga mulut melalui mukosa mulut, serta mengandung bahan tambahan yang cepat melarut (laktosa), contohnya tablet sublingual nirogliserin.
3.      Aerosol. Digunakan untuk obat yang diberikan pada sistem pernafasan. Ukuran partikel dari suspense (dalam ukuran kabut) menentukan tingkat penetrasinya. Obat dengan partikel bergerak dengan cara sedimentasi/ gerak Brown ke dalam bronkhioli. Contoh isotarina dan isoproterenol.
4.      Sediaan Transdermal. Pemberian sediaan transdermal memberi pelepasan obat kesistem tubuh melalui kulit. Obat yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi olh “frist pass effects”. Contoh transderma-V untuk mabuk perjalanan yang melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.
5.      Sediaan Oral. Keuntungan sediaan oral adalah mudah pemakaian dan menghilangkan ketidak nyamanan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama adalah persoalan potensial dari penurunan biovailabiltas, selain itu bioavailabiltas berubah-ubah yang disebabkan absorpsi tidak sempurna/interaksi obat.
6.      Sediaan Rektal. Sedian ini disukai untuk obat yang menyebabkan mual. Laju pelepasan obat sedian ini tergantung pada sifat komposisi dasar dan kelarutan obat yang terlibat, serta terhindar dari frist pass effects.
Fisikokimia Pertimbangan Rancangan Produk Obat
Sifat fisikokimia untuk pertimbangan rancangan produk obat adalah:
1.      Kelarutan, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Kelarutan merupakan gambaran dari kelarutan obat pada berbagai pH fisiologik. Informasi tersebut digunakan untuk rancangan formulasi karena sifat pH lingkungan dari saluran cerna berbeda, dari bersifat asam dalam lambung sampai bersifat alkali dalam usus halus.
2.      Stabilitas, pH dan absorpsi obat.
Profil pH-Stabilitas merupakan gambaran dari tetapan laju reaksi vs pH. Jika peruraian obat terjadi baik melaui katalis asam/basa maka dapat dibuat perkiraan untuk kerusakan obat dalam saluran cerna. Dalam suatu media yang bersifat asam (lambung) peruraian terjadi cepat, sedangkan pada pH netral/alkali obat relatif stabil.
3.      Ukuran partikel dan absorpsi obat.
Ukuran partikel yang makin kecil mengakibatkan kenaikan keseluruhan luas permukaan partikel, memperbesar penetrasi air kedalam partikel, dan menaikkan laju pelarutan.
4.      Kristal polimorf, solvat dan absorpsi obat.

Kristal polomorf memiliki sifat kelarutan dalam air yang lebih rendah dari pada bentuk amorf, yang menyebabkan suatu produk diabsorpsi tidak sempurna. Selama penyiapan, beberapa obat berinteraksi dengan pelarut membentuk suatu kristal yang disebut solvat. Air dapat memebntuk suatu kristal tertentu dengan obat yang disebut hidrat, yang mempunyai kelarutan berbeda dibandingkan dengan bentuk anhidrat. 

Daftar Pustaka: Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar