A. PERTANYAAN PRAKTIKUM
1.
Jelaskan
pengertian:
·
Buta Warna
·
Rinne
·
Weber
2.
Uraikan
cara kerja pelaksanaan praktikum:
· Buta Warna
· Rinne
· Weber
3.
Ulas
secara singkat bagaimana cara interpretasi hasil pengamatan:
·
Buta Warna
·
Rinne
·
Weber
B. PEMBAHASAN
JAWABAN PERTANYAAN
Percobaan
: Indera Pengelihatan
Nama Percobaan
: Visus (Ketajaman)
Dasar Teori
Kebanyakan kesulitan dalam resolusi
pengelihatan disebabkan karena kegagalan mata memfokuskan bayangan pada selaput
jala. Pada mata normal lensa berbentuk – (garis lurus) untuk membentuk bayangan
tajam dari benda- benda yang terlihat dengan tanpa mempersoalkan jarak.
Penyesuaian disebut akomodasi. Tes untuk mengukur ketajaman pengelihatan
dengan menggunakan skala snellen.
Jalannya Percobaan
Berdiri di hadapan Optyotype
snellen yang telah disediakan, lalu berdiri ditanda yang telah ditentukan
sekitar mundur 6 ubin/ lantai dari letak alat. Saat tes salah satu mata ditutup
tetapi tidak boleh menekan terlalu kehras, karena dapat menimbulkan keburaman
saat mata dibuka. Lalu mencoba membaca, dan begitu selajutnya untuk mata sebelahnya.
Interpretasi
Rumus visus atau ketajaman adalah V=
d/D, dimana,
V= Visus
d= Jarak Optotype Snellen dengan
subjek
D= Skala sejauh mana mata normal
masih bisa terbaca
Bilangan 6/60 dalam skala meter menunjukkan nilai
pembilangnya adalah jarak orang yang tidak mampu melihat sebuah deretan obyek
dengan sempurna dan nilai penyebutnya mewakili jarak orang normal yang masih
dapat melihat obyek tersebut dengan baik.
Apabila didesimalkan, maka 6/60 = 0.1 dan bila
dipersentasikan berarti 10% bermakna fungsi penglihatan individu yang diperiksa
sebesar 10%, dan dia kehilangan 90% fungsi penglihatannya. Menurut batasan WHO(
World Health Organisation ) dan telah di adopsi secara aklamasi di kalangan
praktisi, batasan tajam penglihatan normal adalah berkisar 6/12 atau fungsi
penglihatan yang dimiliki adalah 50%. Namun 6/6 adalah nilai dimana seseorang
dianggap memiliki kemampuan penglihatan 100%. Semuanya tercakup dalam satuan
meter sebagai acuan
Percobaan : Indera Pengelihatan (Buta warna)
Nama Percobaan
: Buta Warna Dengan Uji Stilling-
Isihara & Stilling Isihara
Dasar Teori
Tes Ishihara adalah tes buta warna
yang dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi
pada tahun 1917 di Jepang. Sejak saat itu, tes ini terus digunakan di seluruh
dunia, sampai sekarang.
Tes buta warna Ishihara terdiri dari
lembaran yang didalamnya terdapat titik-titik dengan berbagai warna dan ukuran.
Titik berwarna tersebut disusun sehingga membentuk lingkaran. Warna titik itu
dibuat sedemikian rupa sehingga orang buta warna tidak akan melihat perbedaan
warna seperti yang dilihat orang normal (pseudo-isochromaticism).
Salah satu dari teori terbatu
dikemukakan oleh psikiater Inggris, Thomas Young pada tahun 1802 dan
dimodifikasi oleh seorang ahli ilmu faal (physiologist) Hermann Von Helmholtz
setengah abad kemudian. Teori tersebut didasarkan atas fakta bahwa tiga warna
sudah cukup untuk meghasilkan semua warna pada spektrum. Teori Young-
Helmholtz mengemukakan bahwa tiga macam reseptor warna yang berbeda
diwakili oleh warna merah, hijau, dan biru. Setiap reseptor maksim`l peka
terhadap satu panjang gelombang yang lain, tetapi dapat menyesuaikan diri
secara luas sehingga suatu panjang gelombang tertentu akan menstimulasi lebih
dari 1 rseptor. Semua warna dihasilkan dari stimulusi gabungan reseptor ini.
Warna kuning terjadi bila reseptor merah dan hijau distimulasi bersama- sama.
Warna putih dihasilkan dari menstimulasi ketiga reseptor tersebut sekaligus.
Teori Young- Helmholtz modern mencoba untuk menggabungkan ketiga macam sel
kerucut [yang setiap selnya mengandung sebuah pigmen peka gambar (photo
sensitivc) dengan ketiga warna).
Jalannya Percobaan:
Subjek akan diperlihatkan kartu satu
persatu, kemudian subjek akan diminta menebak angka yang terdapat dalam kartu
tersebut. Dan terdapat kartu pengacak yang disebut ditorsi, jika
diperhatikan tidak membentuk angka dan hanya membentuk sebuah alur.
Interpretasi:
Pada tes pembacaan buku Ishihara dapat disimpulkan :
1) Normal: Nara coba dapat menjawab semua pertanyaan
2) Buta warna Parsial
a. Bila plate no. 1 sampai dengan no 17. hanya terbaca 13 plate
atau kurang.
b. Bila terbaca angka-angka pada plate no. 18, 19, 20 dan 21
lebih mudah atau lebih jelas dibandingkan dengan plate no. 14,
10, 13, dan 17.
c. Bila ragu-ragu kemungkinan buta warna parsial dapat dites dengan:
·
Membaca angka-angka pada plate no. 22, 23, 24, dan 25. Pada orang
normal, akan terbaca dengan benar angka-angka pada plate-plate tersebut
diatas secara lengkap (dua rangkap). Pada penderita buta warna parsial hanya
terbaca satu angka pada tiap-tiap plate tersebut diatas.
·
Menunjuk arah alur pada plate no. 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
37, dan 38. Untuk orang normal bias menunjuk alur secara benar sedangkan untuk
buta warna
3) Buta warna Total: Tidak dapat
melihat semua warna, karna subjek semua terlihat berwarna hitam
Percobaan
: Indera Pendengaran
Nama Percobaan
: Rinne dan Weber Test
Dasar Teori
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul udara yang berselang-seling dengan
daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut. Setiap
alat yang mampu menghasilkan pola gangguan molekul udara seperti itu adalah
sumber suara.
1.
Test Rinne
Tes Rinne adalah tes yang dilakukan untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran
udara pada satu telinga pasien.
Cara Kerja:
Garpu
tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak
lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus
akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala
didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus
skustikus eksternus (planum mastoid).
Catat:
Tes
rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih
keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus
akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada
3 interpretasi dari hasil tes rinne :
1) Normal : tes rinne positif
2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar
melalui tulang lebih lama)
3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
·
Bila
pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
·
Jika
posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
·
Pseudo
negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang
mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul.
2.
Test Weber
Tes weber adalah
tes yang
dilakukan untuk membandingkan hantaran tulang
antara kedua telinga pasien.
Cara Kerja:
membunyikan garputala 512 Hz lalu
tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien,
telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien
mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke
sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau
sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan
dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh
bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis
media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum
timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di
sebelah kanan.
Interpretasi:
a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah
kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan
kiri sama kerasnya.
b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
·
Tuli
konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan.
·
Tuli
konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih hebat.
·
Tuli
persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar
sebelah kanan.
·
Tuli
persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada
sebelah kanan.
·
Tuli
persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kanan jarang terdapat.
Daftar
Pustaka
:
Atkinson, R.L,. Atkinson, R.C,. Hilgard, E.R. (1983). Pengantar Psikologi. Jakarta. Erlangga.
Atkinson, R.L,. Atkinson, R.C,. Hilgard, E.R. (1983). Pengantar Psikologi. Jakarta. Erlangga.
Ganong, W. F. 2003. Buku Ajar Kedokteran, Edisi Duapuluh. Jakarta:
EGC.
Thianren. 2008. Penurunan Visus
Pada Katarak dengan Diabetes Mellitus.Jakarta:EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar