A. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari proses yang dilalui obat atau tahapan
perjalanan obat di dalam tubuh.
Farmakokinetik dalam arti luas membahas tentang perubahan – perubahan sepanjang waktu
jumlah obat dan metabolit yang tinggal di dalam berbagai komponen tubuh.
Meliputi tahap, absorbsi, distribusi, biotransformasi(metabolisme) dan
ekskresi obat (eliminasi), baik pada manusia atau hewan.
Tujuannya meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran, rejimen
takaran, rute pemberian, dan keadaan fisiologis pada penimbunan dan disposisi
obat.
2 pokok parameter farmakokinetik:
1. Bersihan (clearance)
Bersihan (clearance) yaitu ukuran
kemampuan tubuh untuk menghilangkan obat (eliminasi). Terbagi:
a) Eliminasi dengan kapasitas
terbatas (Capacity Limited Elimination)
Obat yang menunjukkan eliminasi
dengan kemampuan terbatas. Bersihan bervariasi tergantung konsentrasi obat yang
dicapai.
Misalnya: fenitoin, etanol.
b) Eliminasi tergantung aliran darah
(Flow Dependent Elimination)
Eliminasi obat tergantung besarnya
aliran darah yang masuk ke organ eliminasi, obatnya disebut high
extraction(seluruhnya dihilangkan dari darah oleh organ eliminasi).
2. volum distribusi
Volum distribusi adalah ukuran dari
ruangan dalam tubuh yang tersedia untuk diisi obat.
Efek obat menurut perjalanan waktu
1) efek segera (immediate effects)
Umunya efek obat berhubungan
langsung dengan konsentrasi plasma. Obat yang memiliki waktu paruh pendek dapat
diberikan satu kali sehari saja dan masih dapat mempertahankan efeknya selama
satu hari.
2) efek lambat (delayed effect)
Efek obat yang tertunda lebih lama
khususnya obat yang memerlukan waktu beberapa jam atau beberapa hari sebelum
efek terlihat karena pembalikan yang lambat daripada suatu subtansi fisiologik
yang diperlukan untuk ekspresi efek obat tersebut.
3) efek kumulatif
Toksinitas ginjal dari antibiotik
aminoglikosida lebih besar dibandingkan dengan dosis intermiten.
Tahap Farkamakonitik
1. Absorbsi Obat
Absorpsi merupakan proses penyerapan
obat dari tempat pemberian ke dalam aliran darah, menyangkut kelengkapan dan
kecepatan proses, pemberian obat harus mencapai bioavaibilitas yang
menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat
sebelum mencapai sirkulasi sistemik, karena beberapa jenis obat dimetabolisme
oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan
pertamanya. Ada beberapa obat yang berikatan kuat dengan protein sehingga
menunda lewatnya ke jaringan sekitarnya.
Faktor terkait-pasien yang
mempengaruhi absorbsi obat
a. Faktor Biologis:
- pH saluran cerna,
- sekresi cairan lambung,
- gerakan saluran cerna (gerakan peristaltik dari duodenum),
- waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus,
- serta aliran (perfusi) darah dan banyaknya pembuluh darah pada tempat absorpsi.
- Faktor fisiologik lain
- Umur,
- Makanan,
- Adanya interaksi obat dengan senyawa lain,
- Adanya penyakit tertentu,
- Adanya pori – pori,
- Jumlah luas permukaan absorbsi, karena banyaknya vili dan mikrovili yang ada di daerah duodenum dan usus halus, maka usus mempunyai luas permukaan kira-kira 1000 kali luas permukaan lambung, sehingga absorbsi obat melalui usus lebih efisien, dan sifat kapiler membran sel juga mempengaruhi.
Bioavailabilitas suatu obat
mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat.
Efek biovaliabilitas obat
dipengaruhi oleh:
- kuantitatif,
- data kinetika obat,
- hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan intensitas efek yang ditimbulkannya,
- daerah kerja efektif obat (therapeutic window) dapat ditentukan
Kecepatan dan efisiensi absorbsi
tergantung pada cara pemberian.
Faktor-faktor terkait-obat yang mempengaruhi absorbsi, melalui transpor obat dari saluran
cerna:
a. Bentuk sediaan
Secara tidak langsung mempengaruhi
intensitas respon biologis obat.
b. Sifat Kimia dan Fisika Obat
- Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat.
- Bentuk kristal atau polimorfi.
- Kelarutan dalam lemak atau air,
- Derajat ionisasi juga mempengaruhi proses absorpsi.
- Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak.
c. Sifat fisiokimia obat
- Ukuran partikel,
- Luas permukaan efektif obat,
- Bentuk geometrik,
- Bentuk kima obat, yaitu garam, asam, atau basa, serta bentuk anhidrous,
- Polimorf obat,
- Konstanta disasosiasi,
- Kelarutan (lipofilisitas),
- Stabilitas obat,
- Keadaan ionisasi,
- Berat molekul,
- Formulasi (larutan atau tablet).
- Obat – obatan yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak menembus membran plasma paling mudah.
Kerugian pemberian melalui oral
adalah ada obat yang dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama
dengan penderita, dan tidak bisa dilakukan saat pasien koma.
Adapun faktor- faktor yang dapat
mempengaruhi bioavaibilitas obat pada pemberian oral, antara lain :
a. Faktor Obat
- Sifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas terhadap enzim pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus.
- Formulasi obat seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/ bubuk dll.
b. Faktor Penderita
- pH saluran cerna
- Fungsi empedu
- Kecepatan pengosongan lambung dari mulai motilitas usus
- Adanya sisa makanan
- Bentuk tubuh
- Aktivitas fisik sampai
- Stress yang dialami pasien.
- Perubahan perfusi saluran cerna
- Adanya gangguan pada fungsi normal mukosa usus
Untuk intravena, absorbsi sempurna
yaitu dosis total obat seluruhnya mencapai sirkulasi sistemik
(biovaliabilitas).
Sebagian akan dimetabolisme oleh
enzim di dinding usus halus pada pemberian oral atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ tersebut (Metabolisme/eliminasi lintas
pertama/eliminasi parasistemik). Eliminasi lintas pertama dapat dihindari
dengan cara pemberian parenteral, seublingual, rektal, atau memberikannya
bersama makanan.
Keuntungan pemberian intravena (IV):
Tidak mengalami absorpsi tetapi
langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darah
diperoleh secara capat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon
penderita.
Kerugiannya adalah mudah tercapai
efek toksik karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan,
dan obat tidak dapat ditarik kembali.
Keuntungan pemberian obat secara
parenteral, yaitu:
(1) efeknya timbul lebih cepat dan
teratur dibandingkan dengan pemberian per oral;
(2) dapat diberikan pada penderita
yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau muntah-muntah;
(3) sangat berguna dalam keadaan
darurat.
Kerugiannya antara lain dibutuhkan
cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, sulit dilakukan oleh pasien sendiri, dan
kurang ekonomis.
Injeksi subkutan (SC) atau pemberian
obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak
menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya terjadi secara lambat dan
konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Injeksi intramuskular (IM) atau
suntikkan melalui otot, kecepatan dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh
kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih cepat terjadi di deltoid atau vastus
lateralis daripada di gluteus maksimus.
Injeksi intraperitoneal atau injeksi
pada rongga perut tidak dilakukan untuk manusia karena ada bahaya infeksi dan
adesi yang terlalu besar.
Pemberian secara injeksi intravena
menghasilkan efek yang tercepat, karena obat langsung masuk ke dalam sirkulasi.
Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi intramuskular, dan lebih lambat lagi
dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi banyak membran sel sebelum
tiba dalam peredaran darah.
Transpor obat dari saluran cerna
1. Difusi pasif
Tenaga penggerak difusi pasif dari
suatu obat adalah perbedaan konsentrasi yang melewati suatu membran yang
memisahkan dua kompartemen tubuh, obat bergerak dari konsentrasi tinggi, ke
konsetrasi rendah.
Tidak melibatkan suatu karier,
karena tidak ada titik jenuh, dan kurang menunjukkan spesifikasi struktural.
Sebagian besar obat masuk ke dalam
tubuh dengan mekanisme seperti ini.
Obat yang larut dalam lemak mudah
bergerak menembus kebanyakan membran biologi, sedangkan obat yamg larut dalam
air menembus membran sel melalui saluran aqua.
2. Difusi/transpor Aktif
Cara masuk obat ini melibatkan
protein karier terutama yang terentang pada membran sel.
Sejumlah kecil obat yang strukturnya
mirip, di transpor secara aktif melewati membran sel.
Transpor aktif tergantung energi dan
dijalankan oleh hidrolisis adenosin trifosfat, yang mampu melawan
concentration-gradient, yaitu dari bagian konsentrasi rendah, ke konsentrasi
lebih tinggi, yang menunjukkan proses titik jenuh suatu kecepatan maksimum pada
kadar substrat yang tinggi ketika ikatan enzim tersebut sudah maksimal.
3. Kanal Aqueus(Aqueus Channel)
Obat – obat hidrolifik kecil
(<200 mw) berdifusi sesuai gradien konsentrasi melalui kanal-kanal
aqueus(pori-pori).
4. Difusi Fasilitasi
Obat terikat dengan pembawa melalui
mekanisme nonkovalen.
Obat – obat yang secara kimiawi
bersaing mengikat pembawa.
Ketersediaan hayati
Ketersediaan hayati adalah fraksi
obat yang diberikan mencapai sirkulasi sistemik dalam suatu bentuk yang secara
kimiawi berubah.
Misalnya, jika 100 mg obat diberikan
per oral dan 70 mg dari obat ini diabsorbsi dalam bentuk tidak berubah, maka
ketersediaan hayatinya 70%.
Faktor yang mempengaruhi
ketersediaan hayati:
1. metabolisme first pass pada hati,
2. kelarutan obat,
3. tidak stabil secara kimiawi,
4. sifat formulasi obat.
Bioekuivalen: menunjukkan ketersedian hayati yang sebanding dan mencapai
konsentrasi puncak dalam darah dalam waktu yang sama.
Bio-inkuvalen: dua obat terkait dengan perbedaan ketersediaan hayati yang
signifikan.
Ekuivalen terapeutik: dua obat yang sama mempunyai efikasi dan keamanan yang
sebanding (efektivitas klinis sering tergantung pada konsentrasi maksimum obat
dalam serum dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak setelah
pemberian obat tersebut, oleh karena itu, dua obat yang bioekuivalen bisa juga tidak
ekuivalen secara terapeutik).
B. Distribusi Obat
Setelah diabsorpsi obat akan
didistribusi secara reversible keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah dan
masuk ke intersitium (cairan ekstrasel) dan sel – sel jaringan, karena selain
tergantung dari aliran darah, permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat
tersebut dengan protein plasma atau jaringan, dan hidrofobisitas.
Distribusi obat dapat dibedakan
menjadi 2 fase berdasarkan penyebaran didalam tubuh, yaitu :
1. Distribusi fase pertama
Terjadi segera setelah penyerapan,
yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan
otak.
2. Distribusi fase kedua
Mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot, visera, kulit dan
jaringan lemak.
Faktor yang mempengaruhi distribusi
obat:
1. Aliran darah
Kecepatan kapiler jaringan sangat
bervariasi, akibat distribusi output jantung yang tidak sama ke berbagai organ.
Aliran darah ke otak, hati dan ginjal lebih besar daripada aliran ke otot
rangka, jaringan adiposa tetap aliran darahnya lebih sedikit.
2. Permeabilitas Kapiler
a) struktur kapiler
Struktur kapiler bersifat kontinu
dan tidak ada celah sempit antara sel – sel endhotel. Berlawanan dengan hati
dan limpa, bagian besar dari membrane basalis terlihat disebabkan oleh kapiler
yang terputus – putus dan protein plasma yang besar dapat melewati celah
tersebut.
Sawar darah otak (blood-brain
barrier): untuk masuk ke otak, obat harus
melewati sel endhotel kapiler sistem saraf pusat (CNS) atau di transport secara
aktif.
Obat yang larut dalam lipid
mempenetrasi ke dalam SSP, karena dapat melarut dalam membran dari sel
endhotel, obat – obat yang terionisasi atau yang polar umumnya tidak dapat
masuk ke otak, yang tidak memiliki celah sempit. Sel – sel endhotel kapiler di
otak yang tersusun rapat ini membentuk sawar darah otak.
b) Struktur obat
Sifat kimia obat sangat mempengaruhi
kemampuannya untuk menembus membran sel.
Obat hidrofobik punya distribusi
electron uniform dan tidak bermuatan mudah bergerak melewati kebanyakan
membrane biologik. Obat dapat larut dalam membrane lipid dan karena itu
menembus permukaan sel.
Obat hidrolifik yang punya
distribusi electron non-uniform atau muatan positif atau negatif tidak mudah
menembus membran sel dan harus pergi melalui celah sempit.
3. Pengikatan Obat – obat Pada
Protein
Albumin plasma adalah protein
pengikat obat yang utama dan bisa bertindak sebagai reservoir obat, misalnya
ketika konsentrasi obat bebas berkurang disebabkan eliminasi oleh metabolisme
atau ekskresi obat terikat akan berdiasosiasi dari pritein tersebut. Ini
mempertahankan konsentrasi obat bebas sebagai suatu fraksi tetap dari seluruh
obat di dalam plasma.
4. Depot penyimpanan
obat-obatan lipofilik, seperti
tiopental yang bersifat sedatif, berakumulasi dalam lemak. Obat ini dibebaskan
secara perlahan dari penyimpanan lemak. Jadi, orang gemuk dapat sedasi lebih
lama dari pada orang kurus yang diberikan dosis tipental yang sama.
Obat pengikat kalsium, seperti
antibiotik tetrasiklin, berakumulasi dalam tulang dan gigi.
C. Biotransformasi (metabolisme)
Obat
Biotransformasi atau lebih dikenal
dengan metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang
terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses ini molekul obat diubah
menjadi lebih polar atau lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam
lemak, sehigga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.
Hati adalah tempat metabolisme obat,
tetapi obat tertentu bisa mengalami biotransformasi di dalam jaringan lain
(beberapa obat diberikan dalam bentuk senyawa tidak aktif (pro-drug) dan harus
dimetabolisme menjadi senyawa aktifnya).
Kinetik dari metabolisme terbagi 2:
1. Kinetik First-Order
Sebagian besar transformasi obat di
katalisis oleh enzim.
Enzim yang berperan dalam
biotransformasi obat dibedakan berdasar letak dalam sel, yaitu Enzim Mikrosom
terdapat dalam reticulum endoplasma halus dan Enzim Non Mikrosom.
Kedua Enzim Mikrosom dan Enzim Non
Mikrosom, aktifitasnya ditentukan oleh faktor genetik, sehingga kecepatan
metabolisme obat antar individu bervariasi.
2. Kinetik zero-order
Enzim mengalami kejenuhan oleh suatu
konsentrasi obat bebas yang tinggi dan kecepatan metabolisme tetap konstan
sepanjang waktu.
Reaksi Metabolisme Obat: ginjal
tidak dapat mengeliminasi obat yang lipofilik karena obat tersebut menembus
membran sel dan diabsorbsi kembali dalam tubulus distal. Obat yang larut dalam
lipid pertama-tama harus di metabolisme dalam hati yang menggunakan dua set
reaksi, disebut fase I dan fase II.
Reaksi metabolik dapat mengubah:
obat yang aktig menjadi kurang aktif atau tidak aktif, dan prodrug.
D. Ekskresi Obat
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui
berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam
bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar lebih cepat diekskresi daripada obat
larut lemak, kecuali yang melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting dan ekskresi disini resultante dari 3 proses:
1. Filtrasi di glomerulus
Semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak
terikat protein plasma mengalami filtrasi.
2. Sekresi aktif di tubuli proksimal
Asam dan basa organik, disekresi
aktif melalui sistem transport.
Asam organik seperti: penisilin,
probenesid, salisilat, konyugat, glukeronid, dan asam urat.
Basa organik seperti: neostigmin,
kolin, histamine.
Untuk zat-zat endogen seperti asam
urat, sistem transportnya berlangsung dua arah, sekresi dan reabsorbsi).
3. Reabsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal
Untuk membentuk ion-ion, untuk obat
elektrolit lemah, proses reabsorbsi bergantung pH lumen tubuli yang menentukan
derajat ionisasi.
Mekanisme ekskresi obat rentan
terhadap gangguan dalam ginjal seperti:
- toksin
- obat-obat lain
- keadaan penyakit
- terjadinya toksisitas yang diinduksi oleh zat – zat kimia.
Ekskresi obat juga terjadi melalui:
- keringat,
- liur (dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu),
- air mata,
- air susu, dan
- rambut (dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik).
Aplikasi Farmakokinetika:
1. Bidang farmakologi
Farmakokinetika dapat
menerangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya untuk mengetahui
senyawa yang mana yang sebenarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa asalnya,
metabolitnya atau kedua-duanya. Data kinetika obat dalam tubuh sangat penting
untuk menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan
intensitas efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerah kerja efektif obat (therapeutic
window) dapat ditentukan.
2. Bidang farmasi klinik
a)
Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat.
b)
Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat
untuk setiap individu (dosage regimen individualization).
c)
Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang
rasional.
d)
Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan
obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman.
3. Bidang toksikologi
Farmakokinetika dapat membantu
menemukan sebab-sebab terjadinya efek toksik dari pemakaian suatu obat.
B. Farmakodinamik
Pengertian Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah cabang ilmu
yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
Tujuan mempelajari, meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan
sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang
terjadi.
Mekanisme kerja obat, efek obat timbul karena interaksi obat dengan respetor
pada suatu sel organisme, yang mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi
yang merupakan respon khas untuk obat tersebut.
Obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh.
Obat tidak menimbulkan suatu fungsi
baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Setiap komponen makromolekul
fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor
obat tertentu juga berperan sebagai ligan endogen (hormon, neurotransmiter).
Subtansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya,
senyawa yang tudak punya aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif
efek suatu agonis di tempat ikatan agonis disebut antagonis. Contoh obat/zat
agonis kuat: morfin, meperidin, fentanil, heroin. Agonis sedang: propoksifen,
kodein. Campuran agonis-antagonis: pentasozin, buprenorfin. Agonis: nalokson
dan naltrekson.
Reseptor obat
1. konsep reseptor
a) reseptor lebih menentukan
hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek-efek
farmakologi,
b) reseptor bertanggung jawab
terhadap selektivitas kerja obat,
c) reseptor merupakan tempat kerja
antagonis farmakologik.
2. Fungsi reseptor obat menurut
urutan kekompleksannya
a) Fungsinya sebagai faktor penentu
(determinasi) terhadap hubungan kuantitatif antara konsentrasi obat dan respon
farmakologik,
b) fungsinya sebagai protein
regulator dan chemical signaling mechanism, yang memberikan target untuk
obat-obat penting,
c) fungsi sebagai elemen utama dalam
terapeutik dan efek toksik obat pada penderita.
3. Sifat kimia
Komponen yang paling penting dalam
reseptor obat ialah protein (mis: asetilkolinestrase, Na+, K +
-ATPase, tubulin). Asam nukleat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya
untuk sitostatika.
4. Hubungan struktur-aktivitas
Perubahan dalam molekul obat, misal:
sitostatika, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi
pengembangan obat baru.
Transmisi Sinyal Biologis: Proses
yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical
messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik.
Contoh, transmitor untuk reseptor
yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk
reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal),
tiroksin, vit. D.
Interaksi Obat-Reseptor: Ikatan
antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals),
dan jarang berupa ikatan kovalen.
Kerja Obat yang tidak Diperantarai
Reseptor : Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan
reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi
dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar