Kamis, 05 April 2012

KRITERIA SEORANG PROFESI APOTEKER DI APOTEK

Mungkin tidak semua praktisi diapotek merasakan kedinamisan praktek profesi apoteker di apotek. Hal ini sangat mungkin terjadi karena ada perbedaan manajemen pengelolaan antar apotek. Manajemen pengelolaan yang dilakukan oleh para praktisi. Oleh karena itu, seorang profesi apoteker yang mencoba untuk terjun dalam komunitas farmasi di apotek tak hanya di tuntut untuk memiliki pengetahuan dan praktek kerja yang baik. Mereka juga harus dapat menjadi seorang pengayom bagi para pasien yang mampir ke apotek, baik untuk membeli obat atau sekedar memberikan informasi obat. Kedinamisan ini karena para pengunjung apotek bisa berasal dari segala lapisan dengan tingkat ekonomi dan pendidikan dalam jangkauan yang sangat luas. Dan sering kali pelayanan kefarmasian dianggap masyarakat sebagai pelayanan yang paripurna, meski kenyataannya kita hanya membantu masyarakat dengan pelayanan kefarmasian yang “terbatas”. Tetapi kenyataan ini sangat sulit dihindarkan sehingga sering kali para praktisi di komunitas harus banyak belajar sendiri tentang banyak hal terkait praktik profesinya untuk mengembangkan profesi itu sendiri. Permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh para apoteker praktisi komunitas sering kali tidak hanya terkait obat dan penyakit, tetapi juga terkait banyak hal seperti ekonomi, budaya, psikologi dan lain-lain. Tidak jarang kita juga “terjebak” dalam hal-hal diluar kompetensi kita. Dan bila hal itu terjadi apoteker harus dapat berlaku bijak dan harus mampu menyikapi dan memberikan informasi dan rujukan yang tepat. Seperti pada cerita berikut.
Pada tahun ada sesorang yang sedang mendirikan apotek, ada pelanggan yang bertanya kepadanya tentang obat dan penyakit yang diderita oleh familinya. Karena familinya termasuk keluarga yang kurang mampu dan merasa keberatan bila harus kontrol secara terus menerus. Karena alasan itu, dia minta pertimbangan kepada penjaga apotek tersebut yang tak lain adalah apotekernya sendiri. Sebagai apoteker yang dianggap serba tahu baik masalah obat dan penyakit. Pada saat itu dia bercerita kalau familinya adalah remaja perempuan lulus SMU. Dan seingat saya sudah dibawa dua kali kepada dokter, dokter tersebut ada di luar daerah saya dan sangat terkenal sebagai dokter jiwa di daerah saya, dan persisnya saya kurang tahu dengan pasti. Dia bertanya kepada apoteker tersebut apakah sang apoteker punya obat untuk family'nya tersebut, karena kasihan familinya tidak akan mampu melakukan kontrol ke dokter tersebut pada jangka yang panjang.
Kasus ini merupakan contoh kasus klasik yang pernah saya temui dalam pelaksanaan melakukan praktik profesi di apotek yang terkait masalah kesehatan jiwa, oleh karena itu saya ingat betul. Saat itu apoteker bertanya “kondisi si sakit bagai mana?”. Pelanggan apoteker tersebut secara umum menceritakan keadaan remaja tersebut hanya diam saja dan tidak pernah mau berkomunikasi dengan siapa saja. Sehingga keluarga merasakan kepanikan dan menganggap si remaja tersebut sakit kejiwaan. Saat itu si apoteker tidak memberikan obat apa-apa, dan hanya memberikan saran, “coba dulu didekati dengan pelan-pelan untuk diajak komunikasi dan tanya kenapa kok sampai diam saja. Dan usahakan cari orang yang paling dekat dengan remaja tersebut, bisa dari dalam keluarga atau teman si remaja”. Saat itu si apoteker mencoba untuk membantu memberikan informasi terkait hal-hal yang mungkin terjadi secara psikologi. Karena bila hal tersebut terkait psikologi, mungkin obat bukan jalan terbaik. Hampir satu bulan dari kasus itu, pelanggan apoteker tersebut melaporkan kembali keadaan si remaja yang ternyata hanya kecewa karena tidak bisa melanjutkan kuliah seperti teman-temannya. Padahal si remaja tersebut termasuk lebih bagus nilai akademisnya dibandingkan teman-temannya yang mampu melanjutkan ke bangku kuliah. Dan kenyataannya dalam hal ini obat tidak diperlukan. Banyak kasus psikologi yang masuk ke apotek. Dan terkadang si apoteker tak segan segan memberikan rujukan ke psikolog bila dari keluarga mampu dan berpendidikan.
Masalah yang sangat komplek yang terjadi di apotek terkadang menjadikan diri kita merasa bertambah bodoh menghadapi kenyataan praktek profesi di apotek. Karena apa yang saya dapat dibangku kuliah ternyata masih harus dikembangkan sesuai dengan tempat kita bekerja. Oleh karena itu terkadang saya bermimpi ada pelatihan-pelatihan yang mengakomodasi kasus-kasus yang berkembang di komunitas. Dan bukan hanya kasus-kasus yang berkembang di rumah sakit. Permasalahan sosial ternyata juga sangat dominan yang tingkat kesulitannya mungkin tidak kalah dengan permasalahan ilmu kefarmasian itu sendiri. Kasus semacam ini mugkin juga dialami oleh sebagian sejawat kita yag ada di komunitas, oleh karena itu permasalahan di komunitas sangat spesifik. Karena spesifiknya ini, maka pengembangan dunia farmasi komunitas juga harus mendapatkan perhatian yang lebih.
Perhatian lebih inilah yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah dan oraginsasi profesi (IAI). Bukannya kita para apoteker menginginkan penghargaan yang sebesar-besarnya, tetapi hanya kita menginginkan apresiasi atas peran kita didalam pembangunan kesehatan bangsa. Sehingga dalam pengembangan diri profesi bisa berjalan dengan maksimal. Selama ini untuk kasus-kasus yang tanpa menggunakan alat seperti diatas, kita tidak membebankan tarif kepada masyarakat. Tetapi dampak yang ditimbulkan dari peran para apoteker komunitas seperti diatas adalah sangat berarti bagi masyarakat. Baik bila dilihat dari sisi ekonomi, pendidikan kesehatan, dsb. Semoga kedepan peran apoteker komunitas bisa lebih mendapatkan perhatian dan apresiasi. Sehingga kita para praktisi komunitas bisa bekerja lebih maksimal demi pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar