Sabtu, 21 April 2012

Praktikum Farmakologi: Metabolisme Obat

I.            TUJUAN
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzimpemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya
II.         DASAR TEORI
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi.
            Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase, fase I merubah senyawa lipofil menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH2, dan COOH. Ini bertujuan agar senyawa lebih mudah mengalami proses perubahan selanjutnya. Hasil metabolisme fase I mungkin mempengaruhi efek farmakologinya. Metabolisme fase I kebanyakan menggunakan enzim sitokrom P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan GI. Enzim ini juga berperan penting dalam memetabolisme zat endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat eksogen. Namun demikian, ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan enzim sitokrom P450, seperti pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol.
            Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar setelah mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat lipofil. Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat dan asam amino. Hasil reaksi konjugasi berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara farmakologi. Glukoronidasi adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling penting dalam ekskresi dan inaktifasi obat.
            Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II. Dengan demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi fase II. Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum mengalami metabolisme fase I.  (Mycek,2001)
Metabolisme obat terutama terjadi di hati,yakni di membran endoplasmic reticulum(mikrosom)dan di cytosol.Tempat metabolisme yang lain (ekstra hepatik) adalah: dinding usus, Ginjal, Paru, Darah, Otak dan Kulit,juga di lumen kolon(oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak) menjadi polar (larut air)agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu.dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif.Tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif(jika asalnya prodrug),kurang aktif,atau menjadi toksik.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytocrome P450 (cyp)yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed Fungtion Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom)hati.Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,terutama enzim cyp.
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan.
Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung dengan akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung. (Mardjono,2007,hal 8)
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa kerja,dan toksisitas obat.Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat penting dalam studi.suatu obat dapat menimbulkan suatu respon biologis dengan melalui dua jalur,yaitu:
a.       Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
b.      Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah  mengalami proses metabolisme menjadi obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis(bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif dan tidak toksik(bioinaktivasi atau detoksifikasi),mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh.Hasil metabolit obat bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk(biootoksifikasi)dan ada pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan senyawa induk.contoh:Iproniazid,suatu obat perangsang system syaraf pusat,dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai antituberkolosis.
Faktor-faktor yang mempengarui metabolisme obat:
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses metabolisme.Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja obat.Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu.Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan toksisitas obat.Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:
1.      Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
2.      Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada perbedan uang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
3.      Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat
4.      Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
5.      Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat,memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.
6.      Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat.Hal ini disebabkan senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme dan bukan Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi penghambatan.Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentuatau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif.
Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan organ-organ seperti hati,ginjal,paru dan saluran cerna.Hati merupakan  organ tubuh tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain.Metabolisme obat di hati terjadi pada membrane reticulum endoplasma sel.Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe yang berbeda,baik bentuk maupun fungsinya.Tipe 1 mempunyai permukaan membran yang kasar,terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara khas dan berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis protein.Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung ribosom.Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum metabolisme obat dan senyawa organik asing Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic asing ada dua tahap yaitu:
1.      Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
2.      Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan hi drolisis.tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus  fungsional tertentu yang besifat polar.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan asetilasi.Tujuan reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti asam glukoronat,sulfat,glisin dan glutamine,menghasilkan konjugat yang mudah larut dalam air.Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan toksisitasnya,dan kemudian di ekskresikan melalui urin.
Pada metabolisme obat,gambaran secara tepat system enzin yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi,reduksi,masih belum diketahui secara jelas.Secara umum diketahui bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan melibatkan prpses oksidasi.Proses ini memerlukan enzim sebagai kofaktor,yaitu bentuk tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat (NADPH) dan nikotinamid-adenin-dinukleotida
III.      ALAT DAN BAHAN
1.      Alat dan bahan
·         Jarum suntik oral (ujung tumpul)
·         Stopwatch
·         Induktor enzim : Phenobarbital
·         Inhibitor enzim : Simetidin
2.      Hewan uji : Mencit
IV.      CARA KERJA
V. PEMBAHASAN

Percobaan kali ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya. Hewan uji yang digunakan adalah mencit, digunakan mencit yang mempunyai sistem metabolisme menyerupai manusia, lebih ekonomis, dan mudah didapatkan. Organ pemetabolisme terbesar adalah hati.
Obat yang digunakan pada pecobaan ini yaitu Phenobarbital yang mempunyai dosis 80mg/kgBB. Phenobarbital memiliki efek hipnotik/sedatife sehingga lebih mudah dilakukan pengamatan. Pemberian Phenobarbital dilakukan secara intraperitonial agar efek yang ditimbulkan lebih cepat karena di dalam rongga perut memiliki atau terdapat banyak pembuluh darah.
Senyawa kimia yang mempengaruhi enzim metabolisme antara lain, induktor dan inhibitor. Induktor adalah senyawa kimia yang dapat mempercepat kerja dari enzim metebolisme. Inhibitor adalah sentawa kimia yang dapat menghambat kerja dari enzim metabolisme.
Pada kontrol, hewan uji hanya diberikan Phenobarbital 80mg/kgBB. Pada inductor, hewan uji diberi Phenobarbital selama 3 hari berturut-turut tiap 24 jam dan saat praktikum diberi lagi Phenobarbital 80mg/kgBB. Phenobarbital diberikan 3 hari karena Phenobarbital dapat mengalami auto induksi akibat pemakaian selama 3 hari sampai 7 hari dimana menginduksi dirinya sendiri, disini melibatkan enzim sitokrom P450 dan glukoranil transferase untuk metabolisme Phenobarbital, kemudian setelah 3 hari sampai 7 hari akan terjadi toleransi yang yang nenberikan efek hewan uji tersebut tidur. Pada inhibitor, 1 jam sebelumnya diberikan Simetidin setelah itu diberikan Phenobarbital 80mg/kgBB karena kadar puncak Simetidin pada plasma dicapai setelah 1 jam. Simetidin mempunyai daya kerja menghambat enzim sitokrom P450, maka menghambat metabolisme Phenobarbital sehingga kerja Phenobarbital dalam hewan uji lebih lama.
Parameter yang saling berpengaruh disini adalah durasi karena yang dilihat adalah kadar obat di dalam plasma sehingga yang dilihat obat tersebut berefek sampai obat tersebut tidak berefek. Jadi bukan onsetnya atau waktu mula kerja obat sampai obat tersebut memberikan efek. Rata-rata durasi terbesar adalah kontrol, durasi terkecil adalahn inhibitor. Menurut teori durasi yang tercepat adalah induktor,kontrol, inhibitor.
Reaksi-reaksi selama proses metabolisme dibagi menjadi 2 yaitu reaksi fase I (reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis) : reaksi-reaksi enzimatik yang berperan dalam proses ini sebagian besar terjadi di hati. Mengalami hidroksilasi pada posisi para dengan  bantuan enzim sitokrom450. Reaksi fase II (konjugasi glukoronida, asilasi, metilasi, pembentukan asam merkapturat, konjugasi sulfat).
Pemberian Phenobarbital pada hewan uji dapat menyebabkan hewan uji tersebut tidur, bangun dan tidur kembali. Hal ini Phenobarbital memiliki efek redistribusi.
Dilakukan uji anava untuk durasi. Menghasilkan data F hitung lebih besar dari F tabel yang berarti ada perbedaan durasi antar kelompok sehingga dilanjutkan dengan pasca anava. Dari pasca anava didapatkan kontrol vs induksi berbeda signifikan, kontrol vs inhibisi berbeda signifikan dan induksi vs inhibisi tidak berbeda signifikan. Berarti pemberian induktor atau inhibitor akan mempengaruhi metabolisme obat (durasi obat) sehingga perlu diperhatikan pemberian obat secara bersama. Pemberian obat secara bersamaan dengan inhibitor menyebabkan masa kerja obat diperpanjang dan dapat menyebabkan efek toksis karena aktivitas enzim metabolisme dihambat. Obat diberikan bersamaan induktor dapat mempercepat metabolisme obat tersebut dengan meningkatkan aktivitas enzim metabolisme, ini menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma turun dan masa kerjanya lebih singkat.
VI. KESIMPULAN


Disimpulkan bahwa pemberian obat bersamaan pemberian induktor atau inhibitor dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme obat dengan mempengaruhi aktivitas enzim metabolisme. Induktor mempercepat kerja dari enzim metabolisme sehingga memberikan durasi lebih cepat. Inhibitor menghambat kerja dari enzim pemetabolisme sehingga durasinya lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, Mahar, 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta; Universitas Indonesia Press.
Mycek, Mary J, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Widya Medika, Jakarta.
Siswandono, Soekardjo, 1995, Kimia Medisinal, Surabaya; Airlangga University Press.

Pertanyaan Diskusi
1. Sebutkan senyawa penghambat dan penginduksi enzim yg berperan dalam metabolisme obat?
a.       Penghambat enzim:
·         Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida & fenilbutazon dapat menghambat enzim yg memetabolisme tolbutamid & klorpopamid, sehingga meningkatkan respons glikemi.
·         Dikumarol, kloramfenikol & isoniazid dapat menghambat enzim metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin & para amino salisilat, sehingga kadar Obat dalam serum darah meningkat dan toksisitasnya meningkat pula.
·         Fenilbutazon, secara stereoselektif dpt menghambat metabolism (s)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas antikoagulannya (hipoprotombonemi). Bila luka terjadi pendarahan yg hebat
b.      Penginduksi enzim:
·         Fenobarbital, dpr m’induksi enzim mikrosom sehingga meningkatkan metabolisme warfarin & menurunkan efek antikoagulannya.
·         Rokok contain polisiklik aromatik hidrokarbon, warfarin harus disesuaikan (diperbesar) seperti benzo(a)piren, yg dpt menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga meninkatkan oksidasi dari beberapa Obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin & propoksifen.
·         Fenobarbital, dpt meningkatkan kecepatan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin, hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen & Obat kontrasepsi oral
·         Fenitoin, dpt meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, & Obat kontrasepsi oral
·         Fenilbutazon, dpt meningkatkan kecepatan metabolisme aminopirin & kortisol
  2. Jelaskan mekanisme induksi dan inhibisi enzim?
a.       Mekanisme induksi, berdasarkan enzim yang diinduksi:
·  Induktor jenis fenobarbital akan menaikkan proliferasi RE dan dengan demikian bekerja menaikkan dengan jelas bobot hati. Induksi terutama pada sitokrom P450, dan juga pada glukuronil transferase, glutation transferase, dan epoksida hidrolase. Induksi yang terjadi relatif cepat dalam waktu beberapa hari.
·  Induktor metilkolantren yang termasuk disini khususnya, karbohidrat aromatik (misalnya benzpiren, metilkolatren, triklordibenodioksin, fenantren) dan beberapa herbisida, terutama meningkatkan kerja sitokrom P450 dan sintetis glukuronil transferase. Proliferasi RE dan dengan demikian kenaikan bobot hati hanya sedkit.
Sebagai akibat dari induksi enzim, maka kapasitas penguraian meningkat, sehingga laju metabolisme meningkat. Apabila induktor dihentikan, kapasitas penguraian dalam waktu beberapa minggu menurun hingga pada tingkat asalnya
b.      Mekanisme inhibisi:
Pada penambahan inhibitor enzim terjadi pula mekanisme inhibisi enzim dengan cara sebagai berikut. Bahan obat yang menyebabkan penurunan sintesis atau menaikkan penguraian enzim RE atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat persaingan tempat ikatan pada enzim. Akibatnya, terjadi penghambatan penguraian secara kompetitif sehingga laju metabolisme menurun.
3. Jelaskan hubungan antara induksi dan inhibisi enzim dengan efek farmakologi dan toksisitasnya?
a.    Hubungan induksi dengan efek farmakologi:
Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi farmakokinetik karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu beberapa hari (3 hari sampai1 minggu) sebelum dicapai efek yang maksimal.
b.  Hubungan inhibisi dengan efek farmakologi:
Inhibisi berarti hambatan terjadi langsung, dengan akibat peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung untuk mencegah terjadi terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh diberikan bersama penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya membahayakan. Hambatan pada umumnya bersifat kompetitif (karena merupakan substrat dari enzim yang sama), tetapi juga dapat bersifat non kompetitif (bukan substrat dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversibel)
 4.  Jelaskan pengaruh kekurangan asam amino terhadap kapasitas enzim yang bberperan dalam metabolisme obat?
  • tidak adanya pengikat logam penting yang diperlukan dalam reaksi enzimatik.
  • mempengaruhi biotransformasi obat.

Kamis, 19 April 2012

Parasetamol

Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Obat yang mempunyai nama generik acetaminophen ini, dijual di pasaran dengan ratusan nama dagang. Beberapa diantaranya adalah Sanmol, Pamol, Fasidol, Panadol, Itramol dan lain lain.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Dalam golongan obat analgetik, parasetamol memiliki khasiat sama seperti aspirin atau obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer. Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs.
      Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam, anti pegel linu dan anti-inflammatory. Inflammation adalah kondisi pada darah pada saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerja, gejala inflammation lainnya adalah iritasi kulit.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
Karena Parasetamol memiliki aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
II. 1. METABOLISME
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal.
II. 2. MEKANISME
A.    MEKANISME KERJA
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.
Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari parasetamol diperantarai oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoid CB1. Di dalam otak dan sumsum tulang belakang, parasetamol mengalami reaksi deasetilasi dengan asam arachidonat membentuk N-arachidonoylfenolamin, komponen yang dikenal sebagai zat endogenous cababinoid.
Adanya N-arachidonoylfenolamin ini meningkatkan kadar canabinoid endogen dalam tubuh, disamping juga menghambat enzim siklooksigenase yang memproduksi prostaglandin dalam otak. Karena efek canabino-mimetik inilah terkadang parasetamol digunakan secara berlebihan.
Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.
Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin mengurangi produksi prostaglandin, yang berperan dalam proses nyeri dan demam sehingga meningkatkan ambang nyeri, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif.
B.     MEKANISME REAKSI
Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandins dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi. Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang membuat paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat menurunkan demam tanpa menyebabkan efek samping,tidak seperti analgesik-analgesik lainnya
C.   MEKANISME TOKSISITAS
  • Sulfat dan glukuronida pada liver tersaturasi
  • paracetamol lebih banyak ke CYP -> NAPQI bertambah -> suplai glutation tidak mencukupi
  • NAPQI bereaksi dengan membran sel
  • Hepatosit rusak -> nekrosis
II. 3. RESORPSI
            Resorpsi dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. PP-nya ca 25%, plasma t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukuronida dan sulfat.


II. 4. BAHAYA PARASETAMOL
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini
Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu.
Efek Racun dan Akibat pada Pasien Anak
            Penggunaan paracetamol terus menerus dapat menyebabkan overdosis dan keracunan. Overdosis yang tak dapat penanganan cepat dapat menyebabkan kegagalan liver dan kematian. Kematian akibat overdosis paracetamol jarang terjadi pada anak-anak. Penggunaan parasetamol berbahaya pada seseorang yang memiliki kelainan hati, terutama konsumen alkohol.
Jangan meminum parasetamol selama lebih dari 10 hari berturut turut tanpa berkonsultasi dengan dokter. Obat ini juga jangan sembarangan diberikan pada anak dibawah 3 tahun tanpa terlebih dahulu meminta saran dari dokter
Segera ke dokter bila salah satu dari tanda berikut muncul setelah anda minum paracetamol. Tanda tanda itu antara lain : terjadi perdarahan ringan sampai berat, keluhan demam dan nyeri tenggorokan tidak berkurang yang kemungkinan disebabkan oleh karena infeksi sehingga perlu penanganan lebih lanjut.
Bila karena suatu sebab yang tidak jelas pasien bandel minum obat ini melebih dosis maksimum tadi maka akan terjadi kerusakan hati yang fatal. Gejala kerusakan hati yang perlu mendapatkan perhatian dan harus segera ke dokter antara lain : mual sampai muntah, kulit dan mata berwarna kekuningan, warna air seni yang pekat seperti teh, nyeri di perut kanan atas, dan rasa lelah dan lemas.
Beberapa reaksi alergi yang dilaporkan sering muncul antara lain : kemerahan pada kulit, gatal, bengkak, dan kesulitan bernafas/sesak. Seperti biasa, bila mengalami tanda tanda diatas setelah minum paracetamol, segera ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Aspirin / Asetosal

ANALGETIKA ANTIRADANG (NSAIDS)
NSAID berkhasiat analgetik, antipiretis serta antiradang.
Penggolongan secara kimiawi, obat-obat ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :
A. Salisilat :asetosal, benorilat, diflunisal
B. Asetat : diklorofenac, sulindac, indometasin,
C. Propionat : ibupropen, ketopropen, naproksen, tiaprofenat, flurbiprofen
D. Oxicam : piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam
E. Pirazolon : fenilbutazon, azapropazon
F. Lainnya : mefenamat, nabumeton, benzidamid, bufexamac.
Aspek Farmakologis dan Toksikologis Metabolisme Obat
 
1. ASPIRIN
Aspirin/asam asetil salisilat/asetosal merupakan obat hepatotoksik (obat yang dapat menyebabkan kelainan pada hepar dan tergantung pada besarnya dosis (Predictable)). Gejala hepatotoksik timbul bila kadar salisilat serum lebih dari 25 mg/dl (dosis : 3 – 5 g/hari). Keadaan ini nampaknya sangat erat hubungannya dengan kadar albumin darah, karena bentuk salisilat yang bebas inilah dapat merusak hepar. Pemilihan obat pada anak terbatas pada NSAID yang sudah diuji penggunaannya pada anak, yaitu: aspirin, naproksen atau tolmetin, kecuali pemberian aspirin pada kemungkinan terjadinya Reye’s Syndrome, aspirin untuk menurunkan panas dapat diganti dengan asetaminofen, nimesulide, seperti halnya NSAID lain, tidak dianjurkan untuk anak dibawah 12 tahun karena aspirin bersifat iritatif terhadap lambung sehingga meningkatkan risiko ulkus (luka) lambung, perdarahan, hingga perforasi (kebocoran akibat terbentuknya lubang di dinding lambung), serta menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam pembekuan darah) sehingga dapat memicu resiko perdarahan).

MEKANISME KERJA ASPIRIN

® Mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan enzim cyclic endoperoxides.
® Menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit.
® Menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut secara permanen. Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack).
® Pada endotel pembuluh darah, menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak.
 
FARMAKOKINETIKA
Mula kerja : 20 menit -2 jam.
Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalam plasma tidak berbanding lurus dengan besamya dosis.
Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung besar dosis yang diberikan.
Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.
Metabolisme : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.
Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta konyugasi metabolitnya.
 
FARMAKODINAMIK
Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.
 
EFEK TERAPEUTIK
Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti koagulan.
 
KONTRAINDIKASI
Hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah.
 
INTERAKSI OBAT
Obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan, angiotensin converting enzymes.

EFEK SAMPING

Nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung.
 
EFEK TOKSIK
Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.
 
DOSIS
FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih sedikit.
 
UPAYA MENGHINDARI DAMPAK NEGATIF
1. Hindari pemakaian obat gabungan (polifarmasi), kecuali jika memang kondisi penyakit yang diobati memerlukan gabungan obat dan pengobatan gabungan tersebut sudah diterima dan terbukti secara ilmiah manfaatnya.
2. Kenali sebanyak mungkin kemungkinan interaksi yang timbul pada obat-obat yang sering diberikan bersamaan dalam praktek polifarmasi.
3. Jika ada interaksi, perlu dilakukan tindakan-tindakan, misal pengurangan dosis atau mengganti obat lain yang memiliki efek terapetik yang sama tapi tidak menimbulkan interaksi yang merugikan.
4. Evaluasi efek sesudah pemberian obat-obat secara bersamaan untuk menilai ada tidaknya efek samping/toksik dari salah satu atau kedua obat

Minggu, 15 April 2012

Sejarah Pembuatan Obat "Herceptin" untuk Kanker Payudara

Penemuan dan Pengembangan Obat Kanker Payudara "Herceptin" oleh Dr.Dennis J.Slamon
Ide Dasar
Pada tahun 1988 Dr.Dennis J.Slamon yang berasal dari universitas UCLA, Los Angels ini berkisah tentang pengembangan obat bagi penderita kanker payudara yang berlangsung selama 10 tahun hingga akhirnya dapat disetujui oleh FDA. Dibantu oleh ilmuwan dan sekaligus seorang teman yang bekerja di Genetech, sebuah perusahan bioteknologi yang mendanai dan memegang satu-satunya hak penelitiannya yakni Blake Roger, yang merupakan seorang juru bicara bagi Dr. Slamon di Genetech. HER-2 adalah nama gen dari protein antibody yang terdapat dipermukaan sel kanker payudara. HER-2 merupakan protein yang diproduksi oleh gen yang potensial menyebabkan kanker. Protein ini berperan sebagai antena yang menerima sinyal untuk berkembang biaknya sel kanker dengan cepat dan mematikan.
Kebutuhan Klinis
Kurang lebih 20-30% dari wanita dengan kanker payudara terdapat HER-2. Keberadaan HER-2 dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang makin memburuk serta waktu kekambuhan yang lebih cepat pada semua tahap dari perkembangan kanker payudara, sehingga menjadi hal yang penting bagi para pasien yang telah didiagnosis kanker payudara untuk memeriksakan status HER-2 mereka. Dr. Slamon mengambil gen ini, menelitinya untuk kemudian dikembangkan menjadi obat yang pada mulanya hanya bertujuan menghambat pertumbuhan sel kanker dan memperkecil sel kankernya.
Hipotesis Biologis
Herceptin bukan kemoterapi. Herceptin adalah terapi anti-kanker jenis baru yang berbeda dari kemoterapi maupun terapi hormon. Herceptin disebut sebagai terapi antibody monoklonal Antibodi adalah protein yang secara alami dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh yang membantu mengidentifikasi dan melindungi tubuh dari benda asing. Para peneliti di laboratorium membuat tiruan atau meng-klon satu jenis antibodi ini sehingga disebut antibodi monoklonal. Dalam pengobatan kanker, antibodi monoklonal ini bekerja dengan menyerang substansi tertentu dalam tubuh yang membantu pertumbuhan sel kanker.
Setiap antibodi monoklonal hanya mengenal satu target protein, atau antigen. Terapi antibodi monoklonal memiliki cara kerja seperti antibodi yang ada dalam system kekebalan tubuh manusia . Salah satu contohnya adalah Herceptin (trastuzumab) terapi antibodi monoklonal yang secara khusus dirancang untuk menyerang HER2 dan telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan tumor dan mematikan sel tumor.
Terapi antibodi monoklonal termasuk dalam kategori ”terapi fokus sasaran” atau targeted therapy, yaitu jenis terapi yang menghentikan pertumbuhan sel-sel kanker dengan cara menghambat molekul atau protein tertentu yang ikut serta dalam proses perubahan sel normal menjadi sel kanker yang ganas. Terapi fokus sasaran lebih efektif dari terapi lainnya dan tidak berbahaya bagi sel normal.
Pengembangan Produk Obat
Dalam penelitiannya di tahun ke enam (1994), Dr. Slamon ternyata menghadapi masalah, yakni dikuranginya dana penelitiannya oleh Genetech. Serta dihadapkannya pada suatu kenyataan jika dalam waktu dekat penelitian tersebut tidak juga menghasilkan obat yang diharapkan, Genetech akan mencabut pendanaanya. Hal ini akan menghentikan seluruh penelitian Dr. Slamon, mejadikan enam tahun kemarin sia-sia dan Dr. Slamon tidak akan mendapatkan perusahaan bioteknologi pengganti Genetech sebab seluruh hak penelitian dimiliki oleh pihak Genetech. Setelah beberapa bulan berlangsung, dewan Genetechpun akhirnya memutuskan akan menghentikan sama sekali pendanaan terhadap penelitian Dr. Slamon, sebab diperkirakan produsen obat tidak akan mampu menjualnya dan Genetech akan merugi. Hingga pada akhirnya Ronal Perelman, pemimpin sekaligus pemilik perusahan kosmetik terbesar Revlon di Amerika memberikan hibah dana sebesar dua juta empat ratus dolar untuk penelitian Dr. Slamon.
Penelitianpun akhirnya selesai setelah melalui uji coba pada tikus, di tahun 1992. Yakni melalui terapi antibodi monoklonal yang merupakan bentuk pasif dari imunoterapi, karena antibodi dibuat dalam kuantitas besar di luar tubuh (di laboratorium). Jadi terapi ini tidak membutuhkan sistem imun pasien untuk bersikap aktif melawan kanker. Antibodi diproduksi secara masal dalam laboratorium dengan menggabungkan sel myeloma (tipe kanker sumsum tulang) dari sel B mencit yang menghasilkan antibodi spesifik. Sel hasil penggabungan ini disebut hybridoma.
Kombinasi sel B yang bisa mengenali antigen khusus dan sel myeloma yang hidup akan membuat sel hibridoma menjadi semacam pabrik produksi antibodi yang tidak ada habisnya. Karena semua antibodi yang dihasilkan identik, berasal dari satu (mono) sel hibridoma, mereka disebut antibodi monoklonal (kadang disingkat MoAbs atau MAbs).
 
Ilmuwan bisa membuat antibodi monoklonal yang mampu bereaksi dengan antigen spesifik berbagai jenis sel kanker. Dengan ditemukannya lebih banyak lagi antigen kanker, berarti akan semakin banyak antibodi monoklonal yang bisa digunakan untuk terapi berbagai jenis kanker.
Obat inipun dicobakan kepada lima belas orang relawan, wanita-wanita penderita kanker payudara stadium empat, positif HER-2. Pasien dikatakan HER-2 positif jika pada tumor ditemukan HER-2 dalam jumlah besar. Kanker dengan HER-2 positif dikenal sebagai bentuk agresif dari kanker payudara dan memiliki perkiraan perjalanan penyakit yang lebih buruk daripada pasien dengan HER-2 negatif. Diperkirakan satu dari empat sampai lima pasien dengan kanker payudara tahap akhir memiliki HER-2 positif. Percobaan fase pertama ini memakan waktu berminggu-minggu, yang tak lain merupakan tes gen HER-2 untuk tumor. Minggu pertama pasien tetap mendapatkan cleseptin atau yang biasa disebut kemoterapi, dan tentu saja setelahnya para penderita ini akan mengalami semua efek sampingnya, termasuk mual, muntah, kerontokan rambut dan sebagainya.
Kombinasi herceptin atau ″trastazumab″ dan kemoterapi memberikan hasil lebih baik growth inhibitor pada sel yang mengekspresi HER2. Kombinasi ″trastuzumab″ dengan kemoterapi terbukti secara klinis memberikan keuntungan pasien kanker payudara metastasis HER2 positif. Penelitian uji klinis randomisasi fase II efek penambahan kombinasi ″trastazumab″ dengan kemoterapi standar (gemcitabine dan cisplatin) pada pasien KPKBSK HER2 positif memberikan hasil toleransi yang baik secara klinis. Kombinasi paclitaxel, carboplatin dan ″trastuzumab″ dapat diberikan pada KPKBSK stage lanjut dengan toksisiti yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan terapi tanpa ″trastuzumab″. Strategi yang paling menjanjikan dari target HER2 adalah penggunaan kombinasi inhibitor EGRF TK dengan inhibitor HER2 dimerization.
Diminggu berikutnya pasien diberi terapi herceptin, nama yang kemudian ditetapkan menjadi nama produk obat yang dipasarkan sampai sekarang sebagai obat kanker payudara. Herceptin menyerang receptor-receptor HER-2 yang berada didalam sel kanker dan memblok agar tidak menerima sinyal yang memerintahkan sel untuk membelah. Merupakan jenis antibodi yang didesain untuk membidik dan menghambat fungsi HER-2, suatu protein yang ditemukan dalam jumlah besar pada permukaan beberapa sel kanker payudara. Herceptin juga merangsang sistem kekebalan untuk menghancurkan sel kanker. Ini adalah obat berbasis antibodi pertama yang digunakan untuk pengobatan kanker payudara, suatu kanker yang paling sering didiagnosa pada wanita.
 
Tidak semua relawan akhirnya berhasil. Satu-persatu dari kelima belas wanita-wanita tersebut kemudian meninggal, bukan karena herceptin namun memang karena kankernya sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Hanya lima orang yang kemudian diijinkan untuk melalui tahap percobaan fase dua. Wanita-wanita yang tidak lolos menuju ke fase dua percobaan ini frustrasi dan semuanya memohon untuk mendapatkan treatmen herceptin di fase berikutnya. Dr. Slamon tentu saja tidak bisa mengijinkan mereka semua ikut dalam percobaan fase keduanya. Ada standar-standar yang harus dipenuhinya dari FDA (Food and Drugs Administration) supaya herceptin ini kelak akan benar-benar disetujui sebagai obat.
Barbara Bradfield adalah pasien pertama penderita kanker payudara stadium empat, sembuh total setelah berhasil melalui percobaan fase kedua. Sebuah keajaiban, sebab seluruh sel kanker yang ada di dalam tubuh Barbarapun hilang. Tidak lagi berpotensi mengidap kanker dikemudian hari.
Setelah keberhasilan di fase kedua, Dr. Slamon mengartikan bahwa penelitiannya sudah selesai dan segera FDA akan mengeluarkan ijin untuk pembuatan obat herceptin ini. Kenyataannya, pihak FDA menginginkan pengulangan percobaan sekali lagi untuk mendapatkan bukti signifikan tentang pengaruh herceptin bagi penderita kanker payudara. Percobaan ini disebut-sebut sebagai fase tiga, dimana di dalamnya Dr. Slamon harus mengulang semua prosedur yang dia lakukan dalam percobaan fase pertama dan kedua.
Kendala berulang kembali, sebab tidak mudah untuk menemukan relawan, wanita-wanita penderita kanker payudara stadium empat positif HER-2. Dia akhirnya secara tidak sengaja bertemu dengan kawan lamanya ketika dia mengunjungi rumah sakit tempatnya bekerja. Fran Visco, yang ternyata adalah presiden NBCC (National Breast Cancer Coalition). Disanalah Dr. Slamon kemudian mendapatkan dukungan penelitiannya. Bantuan bagi Dr. Slamon untuk mendapatkan relawan dan meyakinkan pihak FDA untuk memproduksi herceptin lebih banyak, hingga akhirnya obat ini dapat benar-benar disetujui pada tahun 1998. Beberapa relawan kemudian menyusul dan herceptin akhirnya di produksi menjadi obat hingga kini.
Hipotesis Farmakologis
Pengobatan dengan Herceptin telah menghasilkan peningkatan respons, angka harapan hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik diantara wanita dengan kanker payudara tahap akhir. Studi-studi klinik telah mengevaluasi wanita yang menerima Herceptin dalam kombinasi dengan kemoterapi dan sebagai obat tunggal untuk mereka yang telah resisten terhadap pengobatan.
Herceptin memberikan efek samping lebih ringan dibandingkan dengan kemoterapi standar, dimana pasien mengalami gejala ringan sampai sedang seperti menggigil, demam, kelemahan, mual, muntah, batuk, diare, serta sakit kepala, yang terutama terjadi dengan infus pertama. Efek samping ini biasanya akan menurun sesudah dosis pertama. Tetapi beberapa perempuan mungkin bisa mengalami kerusakan jantung selama pengobatan, yakni berupa penurunan fungsi jantung dan dengan gejala berupa gagal jantung. Berkenaan dengan paru-paru, herceptin bisa menyebabkan sesak napas yang menyebabkan kematian. Serta apabila dikonsumsi oleh wanita hamil, herceptin dapat mengakibatkan kematian pada janin. Untuk sebagian besar (tetapi tidak pada semua) wanita, efek ini bersifat jangka pendek dan lebih baik bila obat dihentikan. Herceptin hanya mengganggu pertumbuhan sel kanker payudara secara spesifik, dan tidak mengganggu sel-sel sehat termasuk sel-sel darah dan sel-sel kekebalan.
Herceptin diberikan melalui intravena infus, biasanya sekali seminggu atau bila dosis lebih besar setiap 3 minggu. Dokter belum tahu berapa lama (periode) terapi harus diberikan, memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk mencegah agar sel kanker tidak membelah dan memperlambat pertumbuhan kanker, disini ada beberapa targeted therapy untuk kanker payudara HER-2 positive yaitu:
·         Herceptin ( trastuzumab ) à dikombinasikan dengan Taxol (paclitaxel) yang telah disetujui sebagai pengobatan awal kanker payudara HER-2+ metastatic. Herceptin juga dapat dikonsumsi bagi pasien yang telah menjalankan kemoterapi untuk penyakit metastatic.
·         Tykerb ( lapatanib ) à dikombinasikan dengan Xeloda.
Catatan Tambahan
Di Indonesia, hak produksi herceptin dimiliki oleh Roche, dan sampai saat ini pengobatan herceptin hanya bisa diperoleh di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.
Perkembangan obat kanker payudara Herceptin membuat Dr. Dennis Slamon mendapatkan sejumlah penghargaan penelitian, termasuk tahun 2007 Gairdner Penghargaan Internasional, yang paling bergengsi penghargaan untuk penemuan dalam medis ilmu pengetahuan, dan tahun 2004 Amerika Cancer Society Medal of Honor. Society dukungan Slamon dimulai tahun 1988 dan, termasuk nya saat ini ACS-Cissy Hornung Clinical Research profesor, total $ 505.000 dalam dana hibah.
Kisah hidup dalam penelitian Dr. Dennis J.Slamon dalam menciptakan era pengobatan baru berupa herceptin di abadikan dalam sebuah buku karya Robert Bazell yang berjudul HER-2 : The Making of Herceptin, a Revolutionary Treatment for Breast Cancer pada tahun 1998. Buku tersebut kemudian dirangkum dalam plot film yang dibintangi oleh Harry Connick, Jr. dan diproduseri oleh Vivienne Radkoff yang ditayangkan pada tahun 2008.
Saat ini Dr. Dennis Slamon menjabat sebagai direktur Clinical Research/ Translational di UCLA Jonsson Comprehensive Cancer Center ,dan sebagai direktur Program Revlon / UCLA Penelitian Kanker Perempuan di JCCC. Dia adalah profesor kedokteran, Kepala Divisi Hematologi / Onkologi dan wakil eksekutif untuk penelitian untuk Departemen UCLA of Medicine. Slamon juga menjabat sebagai direktur dewan penasehat medis untuk Aliansi Penelitian Kanker Kolorektal Nasional, sebuah organisasi penggalangan dana yang mempromosikan kemajuan dalam kanker kolorektal . The American Cancer Society kini turut mendanai 199 penelitian kanker payudara dengan dana hibah senilai $109.400.000.



DAFTAR PUTAKA
Cancer Biology & Therapy. June 2004. Herceptin and Chemotherapy Combination Active in Advanced Breast Cancer. 3:6, 489-491.
Cline MJ, Slamon DJ, Lipsick JS.1984. Oncogenes: implications for the diagnosis and treatment of cancer. Ann Intern Med. 1984;101:223-3.
Dennis J.Slamon, Brian Leyland-Jones, Steven Shak, Hank Fuchs, Virginia Paton, Alex Bajamonde, Thomas Fleming, Wolfgang Eiermann, Jannet Wolter, Mark Pegram, Jose Baselga and Larry Norton. 2001. Use Of Chemotherapy Plus A Monoclonal Antibody Against Her2 For Metastatic Breast Cancer That Overexpresses Her2. The New England Journal of Medicine. March 15, 2001; Vol.344, No.11 : 783-792.
Gottfried Konecny, Giovanni Pauletti, Mark Pegram, Michael Untch, Sugandha Dandekar, Zuleima Aguilar, Cindy Wilson, Hong-Mei Rong, Ingo Bauerfeind,Margret Felber, He-Jing Wang, Malgorzata Beryt, Ram Seshadri, Herrmann Hepp, and Dennis J. Slamon. 2003. Quantitative Association Between HER-2/neu and Steroid Hormone Receptors in Hormone Receptor-Positive Primary Breast Cancer. Journal of the National Cancer Institute. January 15, 2003; 95 (2) : 142-153.
Michael F, Gene Hung, William Godolphin, and Dennis J. Slamon. 1994. Sensitivity Of HER-2/Neu Antibodies In Archival Tissue Samples: Potential Source Of Error In Immunohistochemical Studies Of Oncogene Expression. Cancer Research. May 15, 1994; 54:  2771-2777.
Robert Bazell. 1998. HER-2 : The Making of Herceptin, a Revolutionary Treatment for Breast Cancer. New York (NY): Random House, 1998. 214 pp.
Vivienne Radkoff (Produser). 2008. Living Proof. Sony Pictures Television: Lifetime. Amerika Serikat. 118 mins.