Mungkin
tidak semua praktisi diapotek merasakan kedinamisan praktek profesi apoteker di
apotek. Hal ini sangat mungkin terjadi karena ada perbedaan manajemen
pengelolaan antar apotek. Manajemen pengelolaan yang dilakukan oleh para
praktisi. Oleh karena itu, seorang profesi apoteker yang mencoba untuk terjun dalam komunitas farmasi di apotek tak hanya di tuntut untuk memiliki pengetahuan dan praktek kerja yang baik. Mereka juga harus dapat menjadi seorang pengayom bagi para pasien yang mampir ke apotek, baik untuk membeli obat atau sekedar memberikan informasi obat. Kedinamisan ini karena para pengunjung apotek bisa berasal dari
segala lapisan dengan tingkat ekonomi dan pendidikan dalam jangkauan yang
sangat luas. Dan sering kali pelayanan kefarmasian dianggap masyarakat sebagai
pelayanan yang paripurna, meski kenyataannya kita hanya membantu masyarakat
dengan pelayanan kefarmasian yang “terbatas”. Tetapi kenyataan ini sangat sulit
dihindarkan sehingga sering kali para praktisi di komunitas harus banyak
belajar sendiri tentang banyak hal terkait praktik profesinya untuk mengembangkan
profesi itu sendiri. Permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh para apoteker
praktisi komunitas sering kali tidak hanya terkait obat dan penyakit, tetapi
juga terkait banyak hal seperti ekonomi, budaya, psikologi dan lain-lain. Tidak
jarang kita juga “terjebak” dalam hal-hal diluar kompetensi kita. Dan bila hal
itu terjadi apoteker harus dapat berlaku bijak dan harus mampu menyikapi dan
memberikan informasi dan rujukan yang tepat. Seperti pada cerita berikut.
Pada
tahun ada sesorang yang sedang mendirikan apotek, ada pelanggan yang bertanya kepadanya
tentang obat dan penyakit yang diderita oleh familinya. Karena familinya
termasuk keluarga yang kurang mampu dan merasa keberatan bila harus kontrol
secara terus menerus. Karena alasan itu, dia minta pertimbangan kepada penjaga apotek tersebut yang tak lain adalah apotekernya sendiri. Sebagai apoteker yang dianggap serba tahu baik masalah obat dan penyakit.
Pada saat itu dia bercerita kalau familinya adalah remaja perempuan
lulus SMU. Dan seingat saya sudah dibawa dua kali kepada dokter, dokter
tersebut ada di luar daerah saya dan sangat terkenal sebagai dokter jiwa di
daerah saya, dan persisnya saya kurang tahu dengan pasti. Dia bertanya kepada apoteker tersebut apakah sang apoteker punya obat untuk family'nya tersebut, karena kasihan familinya tidak akan mampu
melakukan kontrol ke dokter tersebut pada jangka yang panjang.
Kasus
ini merupakan contoh kasus klasik yang pernah saya temui dalam pelaksanaan melakukan praktik profesi di apotek yang
terkait masalah kesehatan jiwa, oleh karena itu saya ingat betul. Saat itu apoteker
bertanya “kondisi si sakit bagai mana?”. Pelanggan apoteker tersebut secara umum
menceritakan keadaan remaja tersebut hanya diam saja dan tidak pernah mau
berkomunikasi dengan siapa saja. Sehingga keluarga merasakan kepanikan dan
menganggap si remaja tersebut sakit kejiwaan. Saat itu si apoteker tidak memberikan
obat apa-apa, dan hanya memberikan saran, “coba dulu didekati dengan
pelan-pelan untuk diajak komunikasi dan tanya kenapa kok sampai diam saja. Dan
usahakan cari orang yang paling dekat dengan remaja tersebut, bisa dari dalam
keluarga atau teman si remaja”. Saat itu si apoteker mencoba untuk membantu memberikan
informasi terkait hal-hal yang mungkin terjadi secara psikologi. Karena bila
hal tersebut terkait psikologi, mungkin obat bukan jalan terbaik. Hampir satu
bulan dari kasus itu, pelanggan apoteker tersebut melaporkan kembali keadaan si remaja
yang ternyata hanya kecewa karena tidak bisa melanjutkan kuliah seperti
teman-temannya. Padahal si remaja tersebut termasuk lebih bagus nilai
akademisnya dibandingkan teman-temannya yang mampu melanjutkan ke bangku
kuliah. Dan kenyataannya dalam hal ini obat tidak diperlukan. Banyak kasus
psikologi yang masuk ke apotek. Dan terkadang si apoteker tak segan segan memberikan rujukan ke psikolog bila
dari keluarga mampu dan berpendidikan.
Masalah
yang sangat komplek yang terjadi di apotek terkadang menjadikan diri kita
merasa bertambah bodoh menghadapi kenyataan praktek profesi di apotek. Karena
apa yang saya dapat dibangku kuliah ternyata masih harus dikembangkan sesuai
dengan tempat kita bekerja. Oleh karena itu terkadang saya bermimpi ada
pelatihan-pelatihan yang mengakomodasi kasus-kasus yang berkembang di
komunitas. Dan bukan hanya kasus-kasus yang berkembang di rumah sakit. Permasalahan
sosial ternyata juga sangat dominan yang tingkat kesulitannya mungkin tidak
kalah dengan permasalahan ilmu kefarmasian itu sendiri. Kasus semacam ini
mugkin juga dialami oleh sebagian sejawat kita yag ada di komunitas, oleh
karena itu permasalahan di komunitas sangat
spesifik. Karena spesifiknya ini, maka pengembangan dunia farmasi komunitas
juga harus mendapatkan perhatian yang lebih.
Perhatian
lebih inilah yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah dan oraginsasi
profesi (IAI). Bukannya kita para apoteker menginginkan penghargaan yang
sebesar-besarnya, tetapi hanya kita menginginkan apresiasi atas peran kita
didalam pembangunan kesehatan bangsa. Sehingga dalam pengembangan diri profesi
bisa berjalan dengan maksimal. Selama ini untuk kasus-kasus yang tanpa
menggunakan alat seperti diatas, kita tidak membebankan tarif kepada
masyarakat. Tetapi dampak yang ditimbulkan dari peran para apoteker komunitas
seperti diatas adalah sangat berarti bagi masyarakat. Baik bila dilihat dari
sisi ekonomi, pendidikan kesehatan, dsb. Semoga kedepan peran apoteker
komunitas bisa lebih mendapatkan perhatian dan apresiasi. Sehingga kita para
praktisi komunitas bisa bekerja lebih maksimal demi pelayanan kepada masyarakat
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar