A. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa dapat mengenal
cara dan rute pemberian obat, mengetahui pengaruh rute pemberian obat terhadap
efek farmakologi, memahami konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian
obat, mengenal manifestasi berbagai efek obat yang diberikan.
B. DASAR TEORI
Rute pemberian obat ( Routes
of Administration ) merupakan salah satu faktnr yang mempengaruhi efek
obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang
berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena
jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda,
tergantung dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Memilih rute penggunaan obat
tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab
itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a.
Tujuan terapi menghendaki
efek lokal atau efek sistemik
b.
Apakah kerja awal obat yang
dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c.
Stabilitas obat di dalam
lambung atau usus
d.
Keamanan relatif dalam
penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam
rute
g.
Kemampuan pasien menelan
obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang
diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang diabsorpsi, dengan
demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan
obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik
diperoleh jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang
efek lokal adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a.
Oral melalui saluran
gastrointestinal atau rectal
b.
Parenteral dengan cara
intravena, intra muskuler dan subkutan
c.
Inhalasi langsung ke dalam
paru-paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a.
Intraokular, intranasal,
aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga
b.
Intrarespiratoral, berupa
gas masuk paru-paru
c. Rektal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur,
saluran kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat
badan atau larut dalam cairan badan
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a.
Melalui rute oral
b.
Melalui rute parenteral
c.
Melalui rute inhalasi
d.
Melalui rute membran mukosa
seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e.
Melalui rute kulit (Anief,
1990).
Cara pemberian obat melalui
oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan parenteral tertentu,
seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial,
melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan
intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke
peredaran darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara
pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui
kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan
memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan ( Siswandono
dan Soekardjo, B., 1995).
Penggunaan hewan percobaan
dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan
tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi
persyaratanpersyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan
dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping factor ekonomis,
mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip
kejadiannya pada manusia (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).
Cara memegang hewan serta
cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari
masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan,
keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan
dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan
dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi
orang yang memegangnya (Katzug, B.G, 1989).
Fenobarbital, asam
5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi
SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai
tingkat anesthesia, koma, sampai dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate
dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya merupakan
tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu (Ganiswara, 1995).
Barbiturat secara oral
diabsorbsi cepat dan sempurna. Bentuk garam natrium lebih cepat diabsorbsi dari
bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara 10-60 menit, bergantung kepada zat
serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan didalam lambung.
Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan PP
sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih
dari 65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi
kedalam urin dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).
Resorpinya di usus baik
(70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-t ½-nya panjang,
lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus. Kurang
lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin
dan hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya,
yakni pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat
menginduksi enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin
D2) dengan kemungkinan timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama
valproat harus hati-hati, karena kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan.
Di lain pihak kadar darah fenitoin dan karbamazepin serta efeknya dapat
diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg, maksimal 400 mg (dalam
2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4mg/kg berat badan sehari; pada status epilepticus
dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).
C. BAHAN
1.
Rute Pemberian Obat
Secara Oral
Obat : Luminal Natrium
dengan dosis 35 mg/kg BB, konsentrasi larutan obat 3,5% Volume maksimal : 1,0 ml/kg BB
Hewan Percobaan : Mencit, jenis kelamin jantan
2.
Rute Pemberian Obat
Secara Intra Peritoneal
Obat : Luminal Natrium
dengan dosis 35 mg/kg BB, konsentrasi larutan obat 3,5%
Volume maksimal : 1,0 ml/kg BB
Hewan Percobaan : Mencit, jenis kelamin jantan
3.
Rute Pemberian Obat Secara
Sub Cutan
Bahan Obat : Luminal Natrium
dengan dosis 35 mg/kg BB, konsentrasi larutan obat 3,5%
Volume maksimal : 0,5 ml/kg BB
Hewan Percobaan : Mencit, jenis kelamin jantan
D. ALAT
a.
Jarum suntik ¾ - 1 inch (No.
27)
b.
Jarum Oral
c.
Beakerglass
d.
Matglass
e.
Pipet volume
f.
Labu Ukur
g.
Spidol
h.
Stopwatch
E. PROSEDUR KERJA
1.
Rute Pemberian Obat
Secara Oral
Prosedur
Pegang tikus pada tengkuknya
Jarum oral yang telah diisi dimasukkan ke mulut tikus melalui langit-langit
masuk esofagus
Dorong larutan tersebut ke dalam esofagus
Pengamatan:
-
Catat waktu pemberian obat,
mulai timbulnya efek (on set) dan hilangnya efek
-
Efek yang diamati,
diantaranya :
2.
Aktivitas spontan dari
respon terhadap rangsangan/stimulus pada keadaan normal
3.
Perubahan aktivitas baik
spontan maupun distimulasi
4.
Usaha untuk menegakkan diri
tidak berhasil
5.
Diam, tidak bergerak, usaha
untuk menegakkan diri tidak lagi dicoba.
2.
Rute Pemberian Obat
Secara Intra Peritoneal
Prosedur
Pegang mencit pada tengkuknya sedemikian hingga posisi abdomen
lebih tinggi dari kepala
Suntikan larutan obat ke dalam abdomen bawah dari tikus disebelah
garis midsagital
Pengamatan:
- Lakukan pengamatan seperti pada pemberian secara oral.
3.
Rute Pemberian Obat Secara Sub Cutan
Prosedur
Pegang kulit pada bagian tengkuk mencit
Cari bagian kulit tersebut yang berongga (ada ruangan di bawah kulit)
Suntikan larutan obat ke dalam ruangan tersebut (bawah kulit)
Pengamatan:
- Lakukan pengamatan seperti pada pemberian secara oral.
D. HASIL DAN PENGOLAHAN DATA
1. Konversi Dosis
- Dosis Phenobarbital : 300 –
600 mg / kg
- Untuk manusia 70 kg : 70/50
x (300 – 600 mg) = 420 – 840 mg/70 kg
- Untuk mencit 20 g : (420 – 840 mg) x 0,0026 = 1,092 – 2,180 mg =
1,638 mg/20 g
2. Pembuatan Larutan Stok
·
Sediaan : 200 mg/2 ml
·
V1 x C1 = V2 x C2
·
2 ml x 200 mg = 50 ml x C2
·
C2 = 400/50 = 8 mg -> 8
mg/50 ml
3. Perhitungan Dosis Mencit
- Dosis mencit = Berat (gram)/20 gram x dosis konversi
- Volume yang disuntikkan = dosis mencit/lar stok x dosis maksimal tiap
rute
a.
Mencit 1 (23,1 g) = 23,1/20 x 1,638 = 1,89 mg
Volume Suntik PO = 1,89 mg/8
mg x 1,0 ml = 0,24 ml
b.
Mencit 2 (26,2 g) = 26,2/20 x 1,638 = 2,15 mg
Volume Suntik SC = 2,15 mg/8
mg x 0,5 ml = 0,13 ml
c.
Mencit 3 (28,45 g) = 28,45/20 x 1,638 = 2,33 mg
Volume Suntik IP = 2,33 mg/8
mg x 1,0 ml = 0,29 ml
E. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini
mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam
tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji
karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat
cocok untuk dijadik`n sebagai objek pengamatan.
Dari data yang didapatkan
tentang perbandingan rute pemberian obat terhadap efektifitasnya, menunjukkan
bahwa rute pemberian melalui intraperitoneal adalah yang paling cepat, yaitu
didapatkan hasil rata-rata membutuhkan waktu 10 – 40 menit. Sedangkan onset
yang paling lama tercapai adalah melalui per oral yang didapatkan hasil sekitar
35 – 57 menit.
Pemberian obar secara oral
merupakan cara pemberian obar yang umum dilakukan karena mudah, aman, dan
murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya sehingga waktu onset yang didapat cukup lama. Sedangkan
pemberian secara suntikan yaitu pemberian intravena, memiliki keuntungan karena
efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara
oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita.
Sedangkan rute pemberian
yang cukup efektif adalah intra peritoneal (i.p.) karena memberikan hasil kedua
paling cepat setelah intravena. Namun suntikan i.p. tidak dilakukan pada
manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar.
F. KESIMPULAN
Pada pemberian obat secara
oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara Intraperitoneal,
hal ini dikarenakan Intraperitoneal tidak mengalami fase absorpsi tetapi
langsung ke dalam pembuluh darah.
Sementara pemberian secara
oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke
pembuluh darah dan memberikan efek.
DAFTAR PUSTAKA
Anief,
Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University
Press, D.I Yogayakarta.
Ansel,
Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia
Press, Jakarta
Ganiswara,
Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Joenoes, Z.
N., 2002, Ars Prescribendi, Jilid 3, Airlangga University Press, Surabaya.
Katzung,
Bertram G., Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.
Tjay,Tan
Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Setiawati,
A. dan F.D. Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan
Terapi”, Edisi IV, Editor: Sulistia G.G, Gaya Baru, Jakarta.
Siswandono
dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal, Airlangga Press, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar