Senin, 17 Oktober 2011

KEWARGANEGARAAN


MASALAH AKTUAL KETENAGAKERJAAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

 Disusun Oleh:
ANITA MEILINA AKHMAD
(102210101043)


FARMASI
UNIVERSITAS NEGRI JEMBER
2010
MASALAH AKTUAL KETENAGAKERJAAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

*    PERTANYAAN:
Apakah bentuk masalah aktual ketenagakerjaan dan pembangunan hukum di indonesia?

*    JAWABAN DAN CONTOH:
Dalam masalah-masalah aktual ketenagakerjaan dan pembangunan hukum saat ini, Indonesia dihadapkan akan masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia, yang sampai saat ini pun masih belum terselesaikan. Berikut ini hasil analisis saya akan masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia, yang berakar dari 2 (dua) soal besar, yaitu:   
1)       Tingginya jumlah penggangguran massal karena rendahnya     tingkat pendidikan buruh
2)       Minimnya perlindungan hukum dan upah yang kurang layak

Ø  Penjelasan
ü Pengangguran dan pendidikan rendah
Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidak jelasan politik ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Berikut adalah data ketenagakerjaan Indonesia menurut Sukemas tahun 2002.
Tabel 1
Struktur Angkatan Kerja Pekerja dan Pengangguran Terbuka
Menurut Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Tahun 2002
NO
Tingkat Pendidikan

Struktur Angkatan Kerja

Struktur Pekerja
Struktur Pengangguran
Terbuka

(juta)
(%)
(juta)
(%)
(juta)
(%)
1
SD dan SD ke bawah
59,05
58,6
55,84
60,9
3,22
35,3
2
SMTP
17,49
17,4
15,34
16,7
2,15
23,5
3
SMU
12,21
12,1
10,07
11,0
2,14
23,4
4
SMK
7,12
7,1
6,02
6,6
1,11
12,2
5
Diploma/Akademi
2,21
2,2
1,96
2,1
0,25
2,7
6
Universitas
2,69
2,7
2,42
2,6
0,26
2,8
Jumlah
100,77
100,0
91,65
100,0
9,13
100,0

Data ini menunjukkan secara jelas bahwa hanya ada sebesar 2.6% angkatan kerja kita yang lulus dari perguruan tinggi dan ada sejumlah 75% yang hanya berpendidikan SLTP ke bawah. Bagi kalangan investor luar yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang potensial dikembangkan dilndonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya (garment, tekstil, sepatu, elektronik). Sebab dalam situasi pasokan tenaga kerja yang melimpah ( over supply ), pendidikan yang minim, dan upah murah, hanya jenis industri manufaktur ringan saja yang cocok di bisniskan. Sekalipun para investor ini tetap harus mengeluarkan biaya pelatihan kerja, tetapi biayanya tidak sebesar jenis industri padat modal.
Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan mereka melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasi semua konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu:
·        Kebebasan
·        Berserikat dan berunding
·        Larangan kerja paksa
·        Penghapusan diskriminasi kerja
·        Batas minimum usia kerja anak
·        Larangan bekerja di tempat terburuk.
Ditambah dengan kebijakan demokratisasi baru dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru selalu diikuti dengan diperkenalkannya Undang-undang baru yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overhead cost). Bagi perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini, mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih buruk.
Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis indusri seperti ini sudah lama hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara lain.
Secara pribadi saya sangat prihatin dengan nasib 40 juta buruh kita yang menganggur tersebut, tetapi bila pemerintah cukup cerdas, kita semua harus menarik pelajaran dari tragedi ini. Pemerintah tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama dengan tetap memberikan kepercayaan kepada jenis industri manufaktur sebagai sektor andalan Indonesia untuk menyerap tenaga kerja. Indonesia sebaiknya mengembangkan jenis industri yang memiliki keunggulan absolute (absolute advantage) seperti industri,
perikanan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, kelautan. Inilah jenis industri yang sebenarnya kita unggulkan, karena dianugrahkan Tuhan kepada bumi Indonesia. Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali kalau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di semua tempat akan tersedia sumber daya alam yang melimpah.
Mengandalkan terus-menerus industri ke sektor padat karya manufaktur, akan hanya membuat buruh Indonesia seperti hidup seperti dalam ancaman bom waktu. Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK semenamena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya kekerasan. Usaha keras dan pembenahan radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan investor baru. Saya sangat sedih mendengar berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang mempromosikan potensi keunggulan ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta hanya memiliki 25 orang atase perdagangan seluruh dunia. Bandingkan dengan Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki 125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia 80, Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang mempromosikannya hanya 25 orang. Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs itu bisa ditemukan (bahkan infofmasi setiap daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan. Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs informasi secanggih itu.
Selain itu, poIitik nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan pemerintah untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk untuk pendidikan hanya 1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak sekolah SD yang tidak mempunyai guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang mengajar semua kelas 1 sampai kelas 6.
Contoh nelayan Muncar, jumlah nelayan Muncar yang mencapai 10.707 nelayan hampir 60% berpendidikan dasar. Dengan demikian, keterbatasan tingkat pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkapan. Banyak sekali nelayan yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan hasil produksi tangkapan seperti menggunakan bom ikan/dinamit, racun ikan atau putasium. Mereka (nelayan) tidak pernah memikirkan dampak di masa yang akan datang bahwa ikan yang di bom atau di putasium secara alamiah akan merusak ekosistem laut yang berakibat pada hilangnya bibit-bibit ikan.
Sedangkan dari aspek pasca penangkapan, nelayan tidak mempunyai inovasi produksi ikan sehingga berdampak pada nilai jual hasil penangkapan. Mereka lebih memilih menjual langsung kepada perusahaan atau pengepul ikan meskipun dengan nilai yang sangat rendah.

ü Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah
Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu:
1)       Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian jaminan sosial setelah pensiun.
2)       Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ). PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah – bukan melalui LSM ataupun partai politik – bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU) untuk menambah kesejahteraan mereka.
Negara-negara industri maju telah membuktikan bahwa kedua instrumen di atas telah mengurangi kesenjangan kaya – miskin, dan sekaligus mengurangi potensi kemarahan sosial. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia, perlindungan undang-undang terhadap buruh sangat rendah. Lihatlah sistem peradilan perburuhan kita yang tidak memberikan kemungkinan buruh menang dalam proses peradilan yang panjang (mulai dari bipartit, perantaraan, P4D, P4P, PTUN, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, dan masalah eksekusi). Dalam pengalaman saya 12 tahun sebagai aktifis perburuhan, hanya satu kali kasus SBSI menang di tingkat MA, kasus yang masuk ke PTUN semuanya kalah. Dan ribuan kasus yang masuk ke tingkat P4P hampir 90% kalah dan dimenangkan pengusaha. Buruh sebenamya tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan ini, tetapi karena tidak ada pilihan lain, sekalipun harus kalah, tetapi mereka memilih kalah terhormat daripada harus menerima PHK semena-mena. Ditambah lagi dengan program Jamsostek yang tidak memberikan manfaat banyak terhadap buruh, karena di samping status usahanya profit oriented, pemerintah bahkan ikut-ikutan mengambil dana deviden dari keuntungan Jamsostek. Sehingga buruh hanya menerima rata-rataRp 2,5 juta setelah pensiun umur 55 tahun. Tentu saja jumlah ini tidak mencukupi kebutuhan buruh pasca kerja. Itulah sebabnya banyak pensiunan buruh jatuh dalam kemiskinan tragis, sebab bahkan saat bekerja saja hidupnya sudah berada pada level subsisten, setelah pensiun akan lebih tragis lagi. Semua kenyataan ketidakadilan ini bisa dilihat dan diketahui semua politisi dan pemerintah. tetapi tidak ada satupun partai yang membuat hak inisiatif dalam merubah UU peradilan perburuhan dan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan.
Otonomi daerah telah menghadirkan skenario lebih buruk terhadap buruh, sebab tidak ada efektif lagi pengawasan Depnaker pusat. Semua daerah berlomba memperluas retribusi baik legal maupun ilegal untuk menambah APBD, tidak perduli apa dampaknya terhadap semakin berkurangnya minat investor beroperasi di daerah itu. Ada retribusi perpanjangan ijin IKTA, pungutan mendapatkan kartu kuning, ijin penyimpangan waktu kerja, biaya pendaftaran PKB, dan sebagainya, yang kesemuanya menggambarkan kaburnya visi pemerintah daerah terhadap pengembangan perekonomian.

Ø  Kesimpulan
Sektor ketenagakerjaan sebagai sumber daya manusia merupakan faktor yang penting bagi terselenggarakannya pembangunan nasional sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan diri sendiri dalam mewujudkan satu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan juga bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan. Sehingga merupakan hal penting yang harus diperhatikan, maka perlu adanya suatu perangkat bagi sarana perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kerja.
Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional dalam meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan, adil dan merata menjangkau seluruh rakyat. Jaminan sosial bagi seluruh rakyat diantaranya diamanatkan dalam pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Salah satu usaha pemerintah untuk menyejahterakan rakyat yaitu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), kemudian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan adanya jaminan bagi pekerja akan memberikan ketenangan dalam bekerja sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas kerja. Permasalahan muncul yaitu sejauhmana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tersebut dapat meningkatkan produksitivtas kerja nasional.
Faktor ketenagakerjaan sebagai sumber daya manusia merupakan faktor yang penting bagi terselenggarakannya pembangunan nasional sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya. Hal ini dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan diri sendiri dalam mewujudkan satu masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.
Pembangunan di bidang ketenagakerjaan dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta pengembangan sumber daya manusia diarahkan pada pembentukan tenaga profesional yang mandiri, beretos kerja tinggi dan produktif. Pembangunan ketenagakerjaan merupakan upaya menyeluruh dan ditujukan pada peningkatan, pembentukan dan pengembangan tenaga kerja yang berkualitas, produktif, efisien, dan berjiwa wirausaha sehingga mampu mengisi, menciptakan dan memperluas lapangan kerja serta kesempatan kerja.
Terwujudnya sumber daya manusia yang tinggi tersebut dibutuhkan suatu kondisi yang kondusif untuk dapat menunjang percepatan cita-cita pembangunan nasional secara menyeluruh. Di sini letak keterkaitannya antara upaya mencapi kesejahteraan dengan pembangunan di bidang hukum. Hukum nasional disusun berdasarkan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum masyarakat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Persaingan yang ketat dalam dunia bisnis membuat perusahaan harus mampu meningkatkan efesiensi dan produktifitas karyawannya. Hal ini berarti perusahaan harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, tangguh, siap dan tidak takut menghadapi perubahan lingkungan bisnis sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi. Pengelolaan sumber daya manusia bertujuan meningkatkan efektifitas sumber daya alam dalam organisasi, sehingga membentuk satuan kerja yang efektif. Manajemen sumber daya manusia yang efektif dapat meningkatkan efektifitas organisasional. Oleh karena itu perusahaan harus merencanakan, mendapatkan, menggunakan, melatih, mengembangkan, mengevaluasi dan memelihara jumlah serta kualitas karyawan dengan tepat.
Pendayagunaan sumber daya manusia yang tepat menyangkut pemahaman terhadap kebutuhan individual maupun organisasional agar potensi sumber daya manusia dapat digali sepenuhnya. Salah satu variabel penting terhadap kebutuhan tersebut adalah kompensasi atau jaminan sosial.
Program jaminan sosial tenaga kerja merupakan bentuk perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Dikatakan demikian karena program ini memberikan perlindungan dalam bentuk santunan berupa uang atas berkurangnya penghasilan dan perlindungan dalam bentuk pelayanan perawatan atau pengobatan pada saat seorang pekerja tertimpa resiko-resiko tertentu.
Umumnya karyawan dan perusahaan beranggapan kompensasi merupakan bidang terpenting. Kompensasi merupakan istilah luas yang berkaitan dengan imbalan-imbalan finansial yang diterima oleh orang-orang melalui hubungan kepegawaian mereka dengan sebuah organisasi. Kompensasi merupakan salah satu bentuk pengembalian yang terkait dengan imbalan moneter (ekstrinsik) misalnya gaji, tunjangan-tunjangan, status, promosi, benefit, dan bonus. Bentuk pengembalian yang lain bersifat intrinsik seperti pengakuan, pekerjaan yang menarik, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kesempatan kerja yang lebih mendukung. Istilah kompensasi yang lain diartikan sebagai imbalan jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja karena telah memberikan sumbangan tenaga, pikiran demi kemajuan dan kontinuitas perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kompensasi merupakan pengeluaran pokok yang secara kritis mempengaruhi posisi kompetitif perusahaan.
Desain dan implementasi sistem kompensasi adalah salah satu aktifitas yang paling rumit bagi manajer sumber daya manusia yang bertanggung jawab. Kompensasi tidak hanya bersifat materi, ada juga yang bersifat non materi. Bahkan kadang yang bersifat non materi ini lebih bermanfaat bagi sebagian orang. Oleh karena itu, kompensasi merupakan mekanisme penting dalam pemberian penghargaan terhadap anggota organisasi dalam mendorong dan memotivasi anggota mewujudkan tujuan organisasi. Kebanyakan anggota organisasi akan memberi kemampuan maksimalnya bila mereka dihargai dan sebaliknya jika tidak ada penghargaan yang memadai kemampuan yang diberikan akan berkurang bahkan cenderung asal-asalan.
Kompensasi mempengaruhi kepuasan dalam bertindak sebagai umpan balik yang memungkinkan karyawan menyesuaikan perilakunya. Edward lawler menciptakan sebuah model berdasarkan teori ekuitas, menurutnya perbedaan jumlah yang diterima karyawan dan jumlah yang mereka duga diterima oleh orang lain atas pekerjaan dengan tanggung jawab yang sama merupakan penyebab langsung kepuasan atau ketidakpuasan gaji. Jika mereka merasa jumlah yang diterima keduanya setara, maka terdapat kepuasan gaji. Antisipasi kepuasan gaji akan mempengaruhi keputusan-keputusan tentang seberapa keras ia akan bekerja. Jika mereka menyimpulkan apa yang diterima terlalu sedikit, mereka mungkin akan sering absen atau malah mengundurkan diri. Jika para karyawan menyadari bahwa mereka ternyata dibayar sangat mahal, mereka mungkin akan bosan atau mengkompensasikan dengan bekerja lebih keras. Apabila para karyawan memandang kompensasi mereka tidak memadai maka dikhawatirkan hal ini menimbulkan ketidakpuasan karyawan pada kompensasi yang diberikan perusahaan. Ketidakpuasan ini dapat membuat prestasi, produktifitas, kinerja karyawan menurun. Dengan kata lain suatu sistem kompensasi mampu mendorong para karyawan untuk bekerja lebih produktif dan efisien, maka harus dapat menimbulkan kepuasan bagi mereka.
Kompensasi merupakan pengeluaran dan biaya bagi perusahaan. Perusahaan mengharapkan agar kompensasi yang dibayarkan memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan, agar perusahaan memperoleh laba dan kontinuitas perusahaan terjamin. Maksimasi motivasi karyawan berarti membangkitkan dorongan dari dalam diri setiap karyawan untuk mengerahkan usahanya dalam mencapai sasaran yang ditetapkan perusahaan dan setiap karyawan melaksanakan internalisasi sasaran perusahaan sebagai sasaran pribadi mereka, maka kesesuaian sasaran individu karyawan tersebut dengan sasaran perusahaan secara keseluruhan akan terjadi.
Menurut perspektif Sumber Daya Manusia setiap organisasi hendaknya mampu memikat karyawan-karyawan potensial, memelihara, kontinuitas operasi­operasinya dengan memiliki karyawan yang dapat mendukung program perusahaan dengan baik. Oleh karena itu sudah semestinya memiliki sistem kompensasi yang efektif. Menurut Simamora ada dua pertimbangan kunci dalam sistem kompensasi yang efektif. Pertama, sistem kompensasi harus tanggap terhadap situasi. Sistem harus sesuai dengan lingkungan dan mempertimbangkan tujuan-tujuan, sumber daya dan struktur organisasi. Kedua, sistem kompensasi harus dapat memotivasi karyawan-karyawan. Sistem sebaiknya memuaskan kebutuhan mereka, memastikan perlakuan adil terhadap karyawan, dan memberikan imbalan terhadap kinerja. Pemberian kompensasi yang baik dan adil akan berpengaruh pada peningkatan motivasi dan loyalitas anggota organisasi untuk bekerja dengan baik sesuai yang ditargetkan.
Dalam Teori Keadilan (equity theory) dikatakan bahwa individu akan membuat perbandingan sosial dalam menilai imbalan dan status mereka sendiri. Untuk itu persepsi karyawan merupakan faktor yang paling relevan dalam menentukan keadilan sistem kompensasi di mana perbandingan kompensasi aktual dengan yang diharapkan menentukan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan karyawan.
Secara umum di suatu perusahaan karyawan akan memandang tingkat keadilan kompensasi dengan membandingkan kompensasi yang mereka terima dengan yang diterima karyawan lain. Berdasarkan penelitian Heneman, perbandingan tersebut mereka lakukan berdasar pada beberapa dimensi yaitu dimensi bentuk, jumlah, administrasi, dan pelayanan. Perbandingan kompensasi yang dilakukan berdasarkan persepsi yang berbeda untuk setiap karyawan akan menimbulkan tingkat kepuasan yang berbeda pula.
Kepuasan kerja karyawan sering dianggap sebagai hal yang berpengaruh kuat dari perputaran karyawan. Tingkat kepuasan yang dipengaruhi oleh persepsi keadilan kompensasi tersebut selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Hubungan ini dapat dilihat pada Porter-Lawler Model (1973) yang menjelaskan bahwa karyawan akan merasa puas terhadap kompensasi yang diterimanya apabila sesuai dengan prestasi atau kinerjanya. Sebaliknya akan timbul ketidakpuasan dalam diri karyawan bila kompensasi yang diterima lebih rendah dari yang diperkirakan. Jika para karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan secara tidak adil oleh organisasi, maka akibatnya akan muncul banyak tekanan. Selanjutnya kepuasan dan ketidakpuasan karyawan akan mempengaruhi kinerja dan prestasi mereka dalam bekerja. Dengan demikian hasil yang didapat perusahaan tidak akan maksimal.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 menjelaskan jenis-jenis program jaminan sosial yaitu meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Secara yuridis program jaminan sosial tersebut merupakan usaha dari pemerintah untuk menumbuhkan kepuasan pekerja dalam bekerja.

Ø  Saran
Mengingat masalah ketenagakerjaan sudah terlanjur rumit, maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk segera membuat langkah-langkah serius sebagai berikut:
·        Segera mereformasi badan peradilan perselisihan perburuhan, sehingga dimungkinkan buruh mendapat pelayanan yang adil. Lembaga peradilan buruh itu harus bersih, cepat, proses sederhana, biayanya murah dan ada limit waktu (usulan SBSI maksimum 120 hari). Bentuk P4D dan P4P dan mekanisme tambahan ke PTUN sebaiknya harus ditiadakan. Ada berbagai model peradilan buruh di berbagai negara yang bisa diambil sebagai contoh.
·        Harus ada desakan agar anggaran untuk sektor pendidikan dalam APBN ditingkatkan, sehingga tercipta sistem pendidikan murah dan pengajar yang dihargai secara layak. Implikasi 40 juta penganggur saat ini akan menjadi beban Indonesia setidaknya 25 tahun ke depan, sebab hampir semua anak penganggur ini ditambah dengan anak-anak buruh yang hanya mendapat upah kecil (UMR DKI Jakarta Rp 637.000.- ), akan terpaksa tidak bisa sekolah atau hanya bisa sekolah tamat SD saja. Membawa 40 juta orang tidak terdidik pada tahun 2030 hanya akan menjadi beban besar bagi negeri ini kelak.
·        Merubah sistem jaminan sosial ketenagakerjaan, sehingga buruh korban PHK danburuh pensiunan akan mendapat tunjangan layak dari Jamsostek. Pemerintah dilarang mengambil keuntungan apapun dari Jamsostek, bahkan sebaliknya.
·        Pemerintah yang bertanggungjawab, harus memberikan kontribusi setiap tahun, sehingga buruh bisa hidup layak. Sistem Jaminan sosial ketenagakerjaan yang baik akan mengurangi kriminalitas sosial.
·        Dalam jangka panjang, untuk menampung tenaga kerja dan perolehan nilai tambah, pemerintah harus merubah strategi pengembangan industri dari yang berbasis manufaktur ke sektor andalan (leading sectors) industri kita yaitu dengan mengembangkan sektor-sektor yang memiliki keunggulan absolute (absolute comparative advantage).
·        Diberikan jaminan penegakan hukum dan kepastian berusaha terhadap investor, sehingga investor tidak bingung terhadap banyaknya prosedur “tidak resmi” dalam proses pengurusan usaha, dan biaya-biaya yang tidak tercatat. Faktor inilah membuat pengusaha enggan berusaha di Indonesi sehingga menyulitkan dalam menyalurkan tenaga kerja yang melimpah.
·        Memfungsikan lembaga bipartit dan tripartit dalam mitra yang sejajar untuk mengatasi hubungan industrial yang kurang baik, seperti pencegahan pemogokan melalui perundingan. Lock out, dan mengatasi pengangguran. ILO telah mengeluarkan istilah “social dialog” untuk mendorong orang lebih suka berdialog/berunding ketimbang konfrontasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar