Minggu, 30 Oktober 2011

PENGARUH FAKTOR GENETIK TERHADAP METABOLISME DAN RESPON OBAT


Adanya variasi genetik menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap perbedaan fenotip dari masing-masing etnik.
Keterlibatan gen dan protein di dalam perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap obat telah lama menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang farmasi. Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini dapat menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing individu tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon obat khususnya pada tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan obat. Untuk itu dibutuhkan suatu perangkat yang mampu mengidentifikasi suatu marker tertentu yang dapat memperkirakan terjadinya respon negatif atau respon positif dalam pengembangan obat yang didasarkan pada pendekatan teknologi genom tersebut.
Dalam ulasan berikut  ini akan diuraikan tentang hubungan antara respon obat dengan heterogenisitas genom manusia agar dapat digunakan dalam mengidentifikasi target kerja obat secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta terapi berdasarkan pendekatan genetik.
Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang pengaruh faktor genetik terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai ilmu yang mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.   Hal ini didasarkan atas terjadinya perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut dapat kita tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek, menurun. Efek atau justru cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang farmakogenetik dapat digunkana untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib obat dalam tubuh.
Farmakogenomik berakar dari farmakogenetik, suatu bidang ilmu yang telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu. Farmakogenomik mencakup studi mengenai keseluruhan genom manusia, sementara genetik merupakan studi mengenai gen individual. Farmakogenomik mengamati respon obat terhadap keseluruhan genom, sedangkan farmakogenetik mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual.  Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat dan rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis maupun ADR (adverse drug reaction) karena penggunaan metode trial-and-error.Metode trial-and-error dengan pendekatan one-drug-fits-all yang dilakukan dalam penatalaksanaan pasien seringkali memberikan hasil yang tidak efektif dan efisien, membuang waktu, tingginya biaya yang dikeluarkan, dan yang terpenting, gagalnya terapi. Analisis farmakogenomik membantu mengidentifikasi pasien yang memetabolisme obat tertentu secara abnormal. Penderita seperti ini umumnya memetabolisme suatu obat tertentu dengan cepat sehingga tidak berefek terapi (terhadap sistem yang dituju). Respons yang berbeda-beda inilah yang dipelajari dalam ilmu farmakogenomik dan farmakogenetik sebagai bagian dari perkembangan ilmu biologi molekuler. Saat ini telah ditemukan dalam sejumlah populasi di Indonesia yang tidak memiliki enzim tertentu di hatinya. Enzim ini berfungsi untuk mengkonjugasikan obat tertentu. Berdasarkan hal itu, dianggap perlu adanya pemilihan pengobatan secara khusus (fungsi farmakogenomik) dengan variasi 15-50% populasi. Meski demikian, sistem “pengobatan individual” tidak hanya untuk kuratif, tetapi juga preventif. Dengan data gen yang sudah dikumpulkan, bisa diketahui seseorang atau suatu populasi berisiko atau tidak terhadap penyakit tertentu. Kalau ternyata dari data genetik tersebut misalnya seseorang rentan terhadap penyakit jantung atau kanker usus besar, maka sejak dini individu bersangkutan sudah bisa diingatkan agar mengatur pola makan maupun aktivitas fisiknya. Di Amerika Serikat, menurut Penelope Manasco, wakil president First Genetik Trust,
Illinois yang menangani data genetik dan bioinformatik, saat ini efektifitas obat dalam penatalaksanaan pasien berada dalam range 30-50%. Hal ini suatu hal yang mengkhawatirkan untuk obat tertentu seperti berbagai macam antidepresi dimana pemilihan obat yang tepat memakan waktu 6 -12 bulan. Dengan harapan ilmu farmakogenomik, probabilitas keefektifitasan obat akan dapat meningkat menjadi 70-80%. Variasi genetik dapat timbul karena adanya mutasi, delesi, inversi.
POLIMORFISME GENETIK
Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan  ekspresi genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.
Pengaruh terjadinya perbedaan variasi genetik dapat dilihat secara rinci dalam gambaran berikut.
Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan ekspresi genetik, maupun keberadaan varian genetik secara langsung dapat mempengaruhi respon yang berbeda-beda terhadap pemakaian obat.
Berikut ini beberapa contoh obat dan respon pemakiannya dalam populasi dengan gentika yang berbeda:
Isoniazid
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.
Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-asetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari  gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.
Gambar
Gambar ? menunjukkan adanya polimorfisme genetik dalam metabolisme obat. Grafik menunjukkan distribusi konsentrasi isoniazid dalam plasma pada 267 individu dalam 6 jam setelah suatu dosis oral 9,8 mg/kg. Distribusi ini jelas bersifat bimodal. Individu dengan kadar plasma lebih besar dari 2,5 mg/ml pada 6 jam tersebut dipandang sebagai asetilator lambat.
5-fluorouracil (5-FU)
Respon penggunaan 5-fluorouracil (5-FU) sebagai kemoterapi untuk kanker kolon ternyata sangat bervariasi. Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap ekspresi enzim timidilat sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat sintetase bervariasi pada setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU. Sedangkan penderita yang ekspresi mRNA TS tinggi ternyata tidak memperlihatkan respon pengobatan dengan kemoterapi ini (Leichman et al., 1997,). Hasil penelitian serupa ditunjukkan pula pada uji klinik penggunaan 5-FU ini terhadap penderita kanker lambung (Lenz et al., 1996). Genotipe dari gen TYMS, yang menyandi ekspresi enzim timidilat sintetase, ditentukan dengan mengamplifikasi gen/DNA dengan teknik PCR yang diisolasi dari 90 penderita kanker kolon yang mendapatkan pengobatan 5-FU. Hasilnya menunjukkan bahwa gen TYMS ternyata bersifat polimorfisme, mempunyai double (2R) atau triple(3R) tandem repeats pada 28-bp promoter gen, dan terdapat variasi 6-bp pada 3’-untranslated region (3’-UTR). Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan pemetaan genotipe dari gen TYMS dari penderita kanker yang akan diobati dengan 5-fluorouracil. Hal ini diperlukan untuk memprediksi respon obat dan efek toksik yang tidak diinginkan akibat penggunaan  5-FU (Lecomte et al., 2004, Pullarkat et al., 2001).
Warfarin
Pemetaan genotipe sangat membantu dalam penentuan dosis obat yang diberikan, memprediksi kemungkinan munculnya efek toksik suatu pengobatan, dan memungkinkan untuk melakukan pengobatan secara individual berdasarkan sifat genotipe seseorang. Contoh penelitian lainnya adalah  perbedaan respon penggunaan warfarin sebagai antikoagulan. Respon terhadap warfarin ternyata sangat bervariasi antar individu. Penggunaan warfarin yang tidak tepat dosis seringkali menyebabkan perdarahan serius. Perbedaan respon terhadap warfarin yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP2C9, CYP3A5, sangat tergantung pada peran P-glikoprotein yang ekspresinya disandi oleh gen adenosine triphosphate-binding cassette, ABCB1 atau juga disebut dengan multi dug resistance gene 1, MDR1. Variasi genetik dari gen ABCB1 yang dianalisis dengan teknik minisequencing terhadap 210 penderita, menunjukkan bahwa pemilihan dosis yang tepat untuk masingmasing varian genetik sangat penting untuk mendapatkan respon obat yang diinginkan (Wadelius et al., 2004).
Tabel. Contoh nasib obat dalam tubuh kaitannya dengan faktor genetik
Obat Respon Mekanisme Kerja
Isoniazid, hidralazin,prokainamid, sulfametazin, dapson Asetilator cepat: Respon     , toksisitas oleh                      derivate N-Asetil
Asetilator lambat;
Toksisitas meningkat
Perbedaan aktivitas enzim N-asetil transferase
Debrisokuin, metaprolol, lidokain, perheksilin Hidroksilator ekstensif; Respon
HIdroksilator lambat
Respon naik
Perbedaan salah satu sitokrom P450 hati yang mengoksidasi debrisokuin / spartein
S-mefenitoin, diazepam, omeprazol Hidroksilator ekstensif; Respon
HIdroksilator lambat
Respon naik
Perbedaan salah satu sitokrom P450 hati yang mengoksidasi S-mefenitoin
Suksinilkolin Apnea meningkat Aktivitas psedukolinesterse meningkat
Primakuin, klorokuin, kuinin, kuinidin, sulfa, sulfon, nitrofurantion, koramfenikol, aspirin, PAS Hemolisis pada pemberian bersama obat-obat yang bersifat oksidator Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase

Tidak ada komentar:

Posting Komentar